Kejadian Bencana di Indonesia Terus Meningkat, Banjir Jadi Ancaman Terbesar Ekonomi

BNPB mencatat 3.133 kejadian bencana hingga Desember 2025, didominasi banjir dan bencana hidrometeorologi

 

 

Jakarta — Jumlah kejadian bencana di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan dalam 25 tahun terakhir. Tingginya frekuensi bencana ini tidak terlepas dari kondisi geografis Indonesia yang berada di kawasan Pacific Ring of Fire serta pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. Kondisi alamiah tersebut semakin diperburuk oleh kerusakan lingkungan yang masif dan dampak perubahan iklim.

Hingga 20 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat 3.133 kejadian bencana di Indonesia, angka yang hampir menyamai total kejadian sepanjang tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, sepanjang 2024 tercatat 3.472 kejadian bencana.

BNPB mencatat, kejadian bencana tersebut didominasi oleh bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang dipicu oleh fenomena cuaca dan iklim ekstrem. Jenis bencana yang paling sering terjadi meliputi banjir, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, serta tanah longsor. Setiap jenis bencana membawa tingkat kerusakan yang berbeda, baik dari sisi korban jiwa maupun kerugian ekonomi yang ditimbulkan.

Peta sebaran bencana 2025. Foto: BNPB)

Di antara berbagai jenis bencana, banjir menjadi yang paling sering terjadi sekaligus memberikan tekanan terbesar. Hal ini karena banjir memiliki daya rusak yang luas dan berdampak langsung terhadap aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Pemulihan pascabanjir juga umumnya memerlukan waktu yang relatif lama.

Melansir CNBC Indonesia, Banjir kerap memutus jalur transportasi utama sehingga mengganggu mobilitas penduduk dan distribusi logistik. Kondisi tersebut dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat sosial ekonomi. Selain itu, banjir juga berpotensi merusak lahan pertanian, yang berdampak pada terganggunya produksi pangan dan berisiko mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok.

BACA JUGA  Mahasiswa Aceh di Jakarta Gelar Aksi Solidaritas dan Galang Dana untuk Korban Bencana Aceh 2025

Indonesia sendiri tergolong sebagai negara dengan tingkat kerentanan sosial ekonomi yang tinggi terhadap bencana. Hal ini sebagaimana tercantum dalam World Risk Report 2016, yang menempatkan Indonesia pada kategori negara dengan potensi dampak besar ketika bencana melanda.

Dampak langsung yang paling nyata dari meningkatnya kejadian bencana di Indonesia adalah bertambahnya jumlah korban. Sepanjang periode 2011–2024, jumlah korban yang mengungsi dan terdampak bencana meningkat tajam, dari sekitar 500 ribu jiwa menjadi 8,14 juta jiwa. Peningkatan ini sejalan dengan semakin tingginya intensitas bencana di berbagai wilayah.

Tidak hanya menimbulkan korban jiwa, bencana juga menyebabkan kerusakan fisik yang berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Setiap tahun, ratusan hingga ribuan rumah penduduk serta fasilitas publik mengalami kerusakan akibat bencana alam.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa bencana juga berdampak negatif terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Setiap kejadian bencana berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah. Bahkan, akumulasi bencana dalam satu tahun berisiko menurunkan PDB per kapita hingga Rp7,43 juta.

Kerugian ekonomi tersebut terjadi karena bencana merusak infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan fasilitas produksi. Kerusakan ini mengganggu proses produksi dan distribusi barang serta jasa, yang pada akhirnya menurunkan output ekonomi secara nasional. Selain itu, korban jiwa akibat bencana juga mengurangi pasokan tenaga kerja, sehingga memperburuk penurunan produktivitas dan memperlambat pemulihan ekonomi pascabencana.

Dampak bencana juga berbeda antar sektor ekonomi. Berdasarkan data BPS, sektor manufaktur, perdagangan, dan konstruksi menjadi sektor yang paling rentan terdampak, tercermin dari penurunan nilai tambah yang signifikan. Rata-rata kerugian akibat bencana mencapai Rp23,96 triliun per tahun di sektor perdagangan dan Rp19,51 triliun di sektor manufaktur.

BACA JUGA  CDC Batasi Vaksin Covid-19 untuk Lansia

Kerugian besar di sektor-sektor tersebut terutama disebabkan oleh terganggunya rantai pasok dan rusaknya infrastruktur mobilitas perdagangan. Padahal, sektor manufaktur dan perdagangan merupakan penopang utama PDB nasional, sehingga gangguan pada sektor ini berimplikasi besar terhadap kinerja ekonomi secara keseluruhan.

Selain aspek makroekonomi, bencana juga berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui penurunan daya beli. Penelitian BPS menunjukkan bahwa bencana yang terjadi dalam satu tahun berisiko menurunkan rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat hingga sekitar 5 persen.

Dampak tersebut tidak dirasakan secara merata. Kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah dan rendah menjadi kelompok yang paling rentan terdampak karena keterbatasan sumber daya dalam mengantisipasi dan merespons bencana. Akibatnya, keterpurukan sosial ekonomi pada kelompok ini cenderung lebih dalam dan membutuhkan waktu pemulihan yang lebih lama dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi.

Sebaliknya, kelompok berpendapatan tinggi umumnya mengalami kerugian besar dari sisi aset, namun memiliki kemampuan pemulihan yang lebih cepat karena akses terhadap sumber daya yang lebih baik. Oleh karena itu, bantuan sosial dan program perlindungan menjadi instrumen penting dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk menjaga kelompok rentan tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar dan mempercepat proses pemulihan.

Dengan besarnya risiko sosial dan ekonomi yang ditimbulkan, para pemangku kepentingan menilai sinergi mitigasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci utama untuk menekan kerugian akibat bencana dan meningkatkan ketangguhan nasional di masa depan.

Posting Terkait

JANGAN LEWATKAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *