Ketika Kantor Menjadi Luka: Menimbang Ulang Bertahan di Tempat Kerja yang Menggerus Kesehatan Mental.
Jakarta — Ada masa ketika rasa lelah dan setres di tempat kerja diyakini sebagai harga dari sebuah keberhasilan. Namun, bagaimana jika kelelahan itu tak kunjung usai dan justru berubah menjadi rasa hampa, keterasingan, hingga keinginan untuk menghilang? Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk bertahan tak lagi sekadar urusan profesionalisme—melainkan langkah untuk menyelamatkan diri.
Bagi sebagian orang, tempat kerja bukan lagi ruang aktualisasi diri, tetapi menjadi pemantik luka batin yang tak kasatmata. Tekanan yang terus-menerus, budaya kerja yang toksik, dan absennya dukungan emosional dapat menimbulkan dampak psikologis serius yang tidak bisa diabaikan.
Psikologis Terancam, Produktivitas Kerja Terpuruk
Konsep psychological safety atau keamanan psikologis di tempat kerja kian menjadi perhatian dalam dunia kerja modern. Menurut Dr. Amy Edmondson dari Harvard Business School, karyawan yang merasa aman secara psikologis akan lebih terbuka, kreatif, dan berani mengambil risiko positif. Sebaliknya, lingkungan kerja yang represif cenderung menumbuhkan ketakutan, apatisme, dan penurunan kinerja.
Data dari American Psychological Association (APA) menyebutkan, stres kerja kronis berkorelasi kuat dengan risiko gangguan mental, termasuk depresi berat dan kecemasan. Bahkan menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), pekerja yang mengalami tekanan emosional berlebihan memiliki potensi lebih besar mengalami ide bunuh diri.
Refleksi Diri: Sudahkah Kantor Menjadi Zona Tidak Aman?
Beberapa indikator dapat menjadi penanda bahwa tempat kerja telah berubah menjadi sumber ancaman psikologis:
- Muncul kecemasan setiap menjelang hari kerja.
- Tidur terganggu karena terus memikirkan pekerjaan.
- Merasa tak dianggap atau tidak dilibatkan dalam tim.
- Setiap hari di kantor terasa sebagai kegagalan.
- Terdapat pikiran bahwa kepergian tidak akan membawa perubahan apa pun.
Jika sebagian besar dari pernyataan ini terasa relevan, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan langkah strategis—termasuk kemungkinan untuk mundur secara terencana.
Jangan Keliru: Resiliensi Bukan Menyiksa Diri
Budaya kerja yang mengagungkan ketahanan mental kerap kali menyamarkan luka psikologis sebagai bentuk “daya juang”. Namun menurut Dr. Shainna Ali, psikolog klinis dan penulis The Self-Love Workbook, membiarkan diri terus-menerus terluka atas nama ketangguhan justru merupakan bentuk pengabaian terhadap kesehatan mental.
“Menoleransi lingkungan kerja yang menyakitkan tidak membuktikan kekuatan, melainkan justru merusak jati diri secara perlahan,” ujarnya.
Kantor sebagai Pemicu Luka Psikis: Studi dan Fakta
Penelitian dari Dr. Thomas Joiner, psikolog dari Florida State University yang mendalami isu bunuh diri, menyebut dua faktor utama yang kerap muncul pada individu dalam krisis: perceived burdensomeness (merasa menjadi beban) dan thwarted belongingness (merasa tidak diterima).
Lingkungan kerja yang toksik sangat memungkinkan tumbuhnya kedua kondisi tersebut. Ketika kontribusi tidak dihargai, individu disalahkan tanpa sebab, atau dijadikan kambing hitam, maka tekanan psikologis bisa mencapai titik nadir.
Survei dari Mental Health America menunjukkan bahwa 75 persen pekerja di lingkungan kerja tidak sehat mengalami kelelahan mental, dan 44 persen mengaku menunjukkan gejala depresi serius.
Langkah Strategis Jika Harus Pergi
Keputusan untuk keluar dari pekerjaan bukan hal tabu. Namun, langkah tersebut tetap harus diambil dengan kesiapan emosional dan finansial. Beberapa strategi berikut bisa menjadi pertimbangan:
- Buat jurnal emosi untuk mencatat pola stres harian.
- Konsultasikan ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan panduan profesional.
- Siapkan dana darurat, idealnya untuk kebutuhan tiga bulan ke depan.
- Perluas jaringan sosial dan profesional di luar kantor.
- Susun rencana karier jangka menengah, termasuk mencari tempat kerja yang lebih sehat secara mental.
Hidup Lebih Berharga dari Jabatan
Tidak ada pekerjaan yang sepadan jika harus dibayar dengan kesehatan mental atau bahkan nyawa. Mengambil keputusan untuk berhenti bukan bentuk kelemahan, melainkan keberanian untuk memprioritaskan diri sendiri.
Seperti dikatakan Dr. Mark Goulston, psikiater dan penulis Just Listen, “Seseorang yang memutuskan untuk hidup, dan tidak lagi mengorbankan jiwanya demi jabatan, adalah orang yang telah menemukan bentuk kemenangan sejatinya.”
Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengalami gejala depresi atau gangguan mental serius, segera cari pertolongan profesional melalui layanan kesehatan jiwa atau hubungi layanan darurat seperti 119.