UUPA Jadi Senjata Aceh Hadapi Permenpora DBON

Akademisi menilai Aceh punya posisi hukum lebih kuat melalui UUPA untuk menyusun Qanun Olahraga sendiri, tanpa harus tunduk sepenuhnya pada aturan DBON yang dinilai sentralistik.

 

 

Banda Aceh — Polemik terkait Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Nomor 14 Tahun 2022 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) terus menjadi sorotan. Regulasi ini dinilai menggeser peran Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dari induk organisasi olahraga prestasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keolahragaan, menjadi sekadar pelaksana teknis program pemerintah pusat.

Sejumlah daerah mengkhawatirkan adanya tumpang tindih kewenangan dalam pembinaan atlet, alokasi anggaran, hingga pelaksanaan pelatihan. Kekhawatiran kian menguat lantaran DBON menuntut standar tinggi tanpa diikuti jaminan dukungan anggaran memadai dari pemerintah pusat. Akibatnya, daerah diperkirakan harus menanggung beban tambahan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di tengah kondisi fiskal yang terbatas.

KONI menilai kebijakan tersebut cenderung sentralistik dan mengabaikan potensi daerah yang beragam. Padahal, tujuan pembangunan olahraga prestasi menurut undang-undang adalah meningkatkan martabat bangsa, memperkuat persatuan nasional, serta membina potensi atlet secara berjenjang dan berkesinambungan.

Dalam konteks ini, Aceh memiliki posisi berbeda. Akademisi sekaligus praktisi olahraga, Dr. Mansur, M.Kes., menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberikan dasar hukum yang lebih kuat dibandingkan regulasi pusat. Dengan UUPA, Aceh tidak sekadar menjadi pengikut kebijakan nasional, melainkan memiliki otonomi untuk menyesuaikan aturan sesuai kebutuhan, budaya, dan kearifan lokal.

Ada lima keunggulan strategis Aceh dalam menjawab regulasi DBON. Pertama, dasar hukum yang lebih kuat. Qanun Olahraga Aceh tidak harus menyalin aturan pusat, melainkan dapat mengadopsi atau memodifikasi kebijakan sepanjang sesuai dengan UUPA dan undang-undang nasional.

BACA JUGA  Mualem Tinjau Kuala Baru, Janji Bangun Jembatan dan Perbaiki Jalan

Kedua, fleksibilitas regulasi. Aceh dapat mengatur tata kelola olahraga dengan mengakomodasi cabang olahraga tradisional, seperti pacu kude dan saman olahraga, yang tidak diatur dalam DBON.

Ketiga, kekuatan politik hukum. Jika DBON menuntut standar tertentu, Aceh dapat merespons dengan Desain Olahraga Daerah (DOD) berbasis Qanun, tetap dalam bingkai NKRI namun dengan identitas hukum yang khas.

Keempat, prioritas anggaran. Qanun berbasis UUPA memungkinkan alokasi anggaran olahraga dalam APBA diatur lebih terjamin, bahkan membentuk lembaga permanen pendukung olahraga yang sah secara hukum daerah.

Kelima, posisi tawar dalam negosiasi. Jika muncul perbedaan tafsir dengan pemerintah pusat, Aceh dapat menegaskan bahwa Permenpora tidak boleh mengurangi kewenangan yang dijamin oleh UUPA.

Dengan keunggulan itu, Mansur menekankan pentingnya Pemerintah Aceh cermat dalam menyusun revisi Qanun Olahraga. Regulasi daerah tidak boleh sekadar menjiplak aturan pusat, melainkan harus menjadi jawaban kontekstual atas DBON.

“Qanun Olahraga harus dirancang untuk membangun model pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan Aceh, berbasis kearifan lokal, dan mendukung pembangunan daerah. Bahkan, Aceh berpeluang menjadikan Qanun ini sebagai model nasional, terutama dalam pengembangan olahraga usia dini, liga daerah, maupun olahraga adat dan pesantren,” ujarnya.

Dengan demikian, posisi hukum yang kuat melalui UUPA memberi Aceh peluang lebih besar untuk menghadirkan sistem pembinaan olahraga yang khas, efektif, dan berkelanjutan, tanpa kehilangan arah dari tujuan utama: membangun prestasi bangsa.


Posting Terkait

JANGAN LEWATKAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *