BPH Migas Tolak Permintaan Gubernur Aceh Hapus Kebijakan Barcode BBM Bersubsidi, Pengusaha Soroti Pembatasan Akses BBM.
Jakarta – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menegaskan penolakan terhadap permintaan Gubernur Aceh yang mengusulkan penghapusan kebijakan barcode pada BBM bersubsidi. Keputusan tersebut semakin memperjelas bahwa masyarakat Aceh masih dibatasi aksesnya terhadap bahan bakar minyak (BBM) subsidi, meskipun ada tuntutan untuk memberikan pilihan yang lebih fleksibel dan efisien.
Teuku Azril, seorang pengusaha muda yang bergerak di sektor energi dan migas di Jakarta, menyatakan bahwa dia siap untuk memasok BBM ke Aceh dengan cara yang lebih efisien dan tanpa ketergantungan penuh pada PT Pertamina (Persero). Namun, menurutnya, kebijakan pusat yang membatasi kuota impor dan memperketat distribusi justru menghambat langkah tersebut.
“Kenapa Aceh harus terus bergantung pada Pertamina? Kami punya kapasitas untuk memasok BBM dengan cara yang lebih efisien. Sayangnya, regulasi yang ada malah membatasi kesempatan tersebut, membuat masyarakat sulit mendapatkan pilihan yang lebih baik,” ujar Teuku Azril dalam sebuah wawancara di Jakarta, Sabtu (3/3/2025).
Sejak penerapan sistem barcode dan pembatasan kuota, masyarakat Aceh merasa semakin kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi. Mereka harus menerima kenyataan bahwa distribusi bahan bakar di wilayah tersebut semakin terbatas, sementara daerah lain di Indonesia mendapatkan kebijakan yang lebih fleksibel. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Aceh diperlakukan secara berbeda dalam hal pasokan energi?
Sebagai daerah dengan otonomi khusus, Aceh seharusnya memiliki hak lebih besar dalam menentukan kebijakan pasokan energi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Teuku Azril menegaskan bahwa jika regulasi ini terus dipaksakan, maka ketergantungan Aceh terhadap Pertamina akan semakin kuat, sementara rakyat yang akan menanggung dampaknya.
“Pemerintah Aceh harus berani mengambil sikap! Jika terus tunduk pada kebijakan ini, ketergantungan terhadap Pertamina hanya akan semakin menguat, dan rakyat Aceh tetap menjadi korban dari kebijakan yang merugikan mereka,” tegas Azril.
Azril menambahkan, sudah saatnya pemerintah Aceh berpikir lebih jauh mengenai kemandirian energi dan keberlanjutan pasokan BBM di daerah mereka, bukan hanya mengandalkan regulasi pusat yang jelas tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah Aceh harus berani bertindak untuk kemandirian energi. Jangan terus menerus tunduk pada kebijakan yang jelas merugikan masyarakat. Kapan pemerintah Aceh akan menunjukkan sikap berani dan memprioritaskan kebutuhan rakyat Aceh?” pungkasnya.
Polemik ini semakin menghangatkan diskusi seputar kebijakan distribusi BBM bersubsidi dan bagaimana ketergantungan terhadap badan usaha negara seperti Pertamina menjadi permasalahan bagi beberapa daerah, terutama yang memiliki otonomi khusus seperti Aceh.
Komentar