Trump Sanksi Kilang Minyak Iran di China, AS-China Makin Tegang

AS Jatuhkan Sanksi pada Terminal Minyak China di Tengah Memanasnya Hubungan Dagang.

 

Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi terhadap sebuah terminal penyimpanan minyak mentah milik China, di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara kedua negara adidaya tersebut.

Mengutip laporan Reuters, Departemen Keuangan AS menetapkan sanksi terhadap Guangsha Zhoushan Energy Group Co., Ltd., operator terminal minyak di Pulau Huangzeshan, Zhoushan, China. Terminal tersebut diduga terlibat dalam jaringan distribusi minyak Iran, yang selama ini menjadi sasaran sanksi internasional oleh Washington.

Dalam pernyataan resminya, otoritas AS menyebutkan bahwa terminal tersebut telah menerima kiriman minyak mentah asal Iran sebanyak sembilan kali sepanjang periode 2021 hingga 2025, termasuk dari sejumlah kapal yang telah lebih dulu masuk dalam daftar sanksi AS. Total impor mencapai sedikitnya 13 juta barel.

“Terminal tersebut secara sadar terlibat dengan minyak dari Iran, dan terhubung langsung melalui Pipa Minyak Bawah Laut Huangzeshan-Yushan ke kilang independen yang dikenal sebagai pabrik ‘teko’, “ ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS, dikutip dari CNBCIndonesia.com, Jumat, (11/4/2025).

Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya Washington untuk menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya. Pemerintahan Trump menegaskan bahwa sanksi merupakan alat strategis untuk mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir.

Sementara itu, pemerintah Iran bersikeras bahwa program nuklirnya semata-mata bertujuan sipil.

Sanksi ini diumumkan di tengah perang tarif yang kian memanas antara AS dan China. Saat ini, Washington mengenakan tarif hingga 125% terhadap berbagai produk asal China, sementara Beijing merespons dengan memberlakukan tarif balasan sebesar 84%.

China, yang merupakan importir utama minyak Iran, menolak mengakui legalitas sanksi sepihak AS. Sebagai bentuk perlawanan, Beijing dan Teheran membangun sistem perdagangan alternatif yang menggunakan mata uang yuan dan perantara lokal, guna menghindari penggunaan dolar AS dan pengawasan regulator Amerika.

BACA JUGA  Menteri Terkaya di Indonesia, Rp5,4 Triliun

Selain menargetkan fasilitas di China, Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi kepada seorang warga negara India bernama Jugwinder Singh Brar, yang berdomisili di Uni Emirat Arab (UEA). Brar diketahui memiliki perusahaan pelayaran dengan hampir 30 kapal tanker yang diduga terlibat dalam pengiriman minyak Iran melalui transfer antar-kapal (ship-to-ship/STS) di perairan Irak, Iran, UEA, dan Teluk Oman.

Sanksi tersebut turut menyasar dua entitas berbasis di UEA dan dua perusahaan lain di India yang mengoperasikan kapal-kapal milik Brar, yang disebut telah mengangkut minyak Iran atas nama Perusahaan Minyak Nasional Iran serta pihak militer negara tersebut.

“Rezim Iran bergantung pada jaringan pengirim dan pialang yang tidak bermoral seperti Brar dan perusahaannya untuk memungkinkan penjualan minyaknya dan membiayai kegiatannya yang tidak stabil,” tegas Bessent, Wakil Menteri Keuangan AS untuk Urusan Terorisme dan Intelijen Keuangan, Brian E. Nelson.

Namun, langkah sanksi ini menuai kritik dari sejumlah pengamat. Jeremy Paner, mitra di firma hukum Hughes Hubbard & Reed sekaligus mantan penyelidik sanksi Departemen Keuangan AS, menilai keputusan tersebut sebagai langkah yang tidak lazim.

“Biasanya Washington menahan diri untuk menjatuhkan sanksi baru ketika ada proses negosiasi kompleks dengan negara seperti Iran maupun rival besar seperti China,” ujarnya.

Menurut Paner, meski target sanksi dari China mungkin akan merasakan dampaknya, langkah tersebut dinilai tidak cukup untuk melumpuhkan perdagangan minyak Iran secara signifikan.

“Jika Anda akan menunjukkan kepada mereka bahwa Anda benar-benar serius, Anda akan menargetkan bank (China) atau klub P&I, atau kelompok asuransi perlindungan dan ganti rugi yang menyediakan layanan untuk kapal tanker minyak,” pungkas Paner.

Komentar