Pemekaran ALA Dikritik: Solusi Semu, Ancaman Resiliensi Aceh

Ia mengingatkan bahwa wacana ALA-ABAS biasanya mengemuka menjelang pemilu, dan lebih kental nuansa politis ketimbang aspiratif.

Lhokseumawe – Wacana pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) kembali mencuat usai pertemuan Komite Pemekaran Provinsi ALA (KP3ALA) beberapa waktu lalu. Gagasan lama yang mencakup enam kabupaten di kawasan tengah dan barat daya Aceh itu kembali mendapat sorotan, baik dukungan dari tokoh lokal maupun kritik keras dari kalangan akademisi.

Teuku Kemal Fasya, akademisi Universitas Malikussaleh, menilai rencana pemekaran ALA tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan pembangunan di Aceh.

“Proyek-proyek nasional cenderung dipusatkan ke wilayah pesisir atau kawasan mayoritas etnis Aceh, sementara daerah seperti Gayo dan Alas sering kali dikesampingkan,” ujar Kemal, Sabtu (19/4/2025).

Kemal menyebut gagasan Pemekaran ALA dan pemekaran Aceh Barat Selatan (ABAS) lahir dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pola sentralisasi pembangunan yang dianggap tidak adil. Namun menurutnya, pemekaran provinsi justru berpotensi memperkeruh keadaan.

“Sejak awal ide ALA adalah bagian dari strategi kontra-intelijen untuk mengkerdilkan resiliensi Aceh. Ini bukan solusi, melainkan cara untuk memecah daya tahan sosial-politik Aceh pascakonflik,” tegasnya.

Ia menyoroti bahwa pengalaman di Papua seharusnya menjadi pelajaran penting. Di sana, pemekaran justru memperbesar pengeluaran negara tanpa memperkecil ketimpangan.

“Yang diuntungkan hanya elit politik lokal. Sementara masyarakat di daerah pemekaran tetap saja tertinggal,” papar Kemal.

Kemal juga mengkritik pendekatan simbolik Pemerintah Aceh yang kerap mengabaikan kelompok etnis minoritas. Salah satunya terlihat dari pemilihan bahasa Aceh pesisir dalam Himne Aceh, tanpa mengakomodasi bahasa dari kelompok etnis lain.

“Aceh bukan hanya milik etnis Aceh. Ada Gayo, Alas, Aneuk Jamee, dan lainnya. Kita butuh pendekatan yang lebih adil dan inklusif,” ujarnya.

BACA JUGA  Gubernur Mualem Santuni Anak Yatim dan Lepas Pawai Takbir

Ia mengingatkan bahwa wacana ALA-ABAS biasanya mengemuka menjelang pemilu, dan lebih kental nuansa politis ketimbang aspiratif.

“Ini alarm bahwa komunikasi lintas etnis belum selesai. Banyak pemimpin di Aceh masih mengidentikkan provinsi ini hanya dengan satu etnis,” ungkap Kemal.

Sebagai alternatif, ia mengusulkan penguatan simbol-simbol inklusif seperti penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, merujuk sejarah tokoh sufi Nusantara, Hamzah Fansuri.

“Kalau kita bicara keadilan sosial dan pengakuan terhadap minoritas, kita butuh simbol bersama. Kalau tidak, isu ketertinggalan akan terus jadi bahan bakar politik pemecah belah,” tandasnya.

Kemal berharap diskusi tentang ALA dan ABAS ke depan diarahkan bukan pada pemekaran administratif semata, tetapi pada solusi menyeluruh terhadap ketimpangan dan eksklusi identitas.

“Belajar dari Papua, kita perlu memperkuat keadilan, bukan memperbanyak provinsi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *