“Penempatan empat batalyon tambahan bukan hanya melanggar MoU, tapi juga mengkhianati semangat keadilan dan rekonsiliasi yang telah susah payah dibangun,” ujar Cut Farah dengan nada tegas.
Banda Aceh — Pemerintah Indonesia kembali menuai kontroversi dengan rencananya menambah empat batalyon TNI di Aceh. Organisasi Perempuan Merdeka (PM) yang terdiri dari aktivis perempuan dan pembela hak asasi manusia, mengecam keras kebijakan ini, menilai langkah tersebut sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, yang telah menjadi dasar perdamaian di Aceh sejak 2005.
Dalam pernyataan resminya pada Selasa (29/4/2025), Ketua Perempuan Merdeka, Cut Farah, menyampaikan penolakan tegas terhadap penambahan pasukan TNI. “Penempatan empat batalyon tambahan bukan hanya melanggar MoU, tapi juga mengkhianati semangat keadilan dan rekonsiliasi yang telah susah payah dibangun,” ujar Cut Farah dengan nada tegas.
Pelanggaran MoU Helsinki
MoU Helsinki, yang disepakati pada 2005 untuk mengakhiri konflik bersenjata yang menelan banyak korban di Aceh, secara tegas mengatur pembatasan jumlah pasukan militer di wilayah tersebut. Dalam perjanjian itu, disebutkan bahwa total personel militer yang boleh ditempatkan di Aceh hanya 14.700 orang, dengan peran terbatas pada pertahanan eksternal dan tidak ada penambahan pasukan non-organik.
Farah mengingatkan bahwa penambahan pasukan TNI justru dapat membangkitkan trauma lama di masyarakat Aceh. “Kehadiran pasukan baru justru membuka kembali luka lama. Rakyat Aceh telah bekerja keras untuk merajut perdamaian dan rekonsiliasi, dan kebijakan ini bisa menggagalkan semua itu,” jelasnya.
Tuntutan Perempuan Merdeka
Organisasi tersebut tidak hanya menuntut pembatalan penempatan pasukan, tetapi juga menyerukan agar seluruh pihak yang terlibat menegakkan kesepakatan perdamaian yang telah disetujui bersama. Perempuan Merdeka mengeluarkan enam tuntutan utama, antara lain:
Pemerintah Indonesia harus menghormati dan mematuhi MoU Helsinki, yang menjadi landasan perdamaian Aceh.
Segera membatalkan penempatan tambahan pasukan ke Aceh.
Mematuhi seluruh isi MoU Helsinki, yang disaksikan oleh komunitas internasional melalui Crisis Management Initiative (CMI).
Mengutamakan pendekatan sipil, dialog, dan pembangunan kesejahteraan daripada pendekatan militer.
Menuntut agar Gubernur Aceh, DPR Aceh, DPD-RI perwakilan Aceh, dan DPR-RI asal Aceh secara terbuka menolak rencana tersebut.
Mengingatkan Gubernur Aceh agar berpihak pada perdamaian dan keadilan, demi masa depan rakyat Aceh.
Farah menekankan bahwa rakyat Aceh lebih membutuhkan akses ke pendidikan yang layak, lapangan kerja, dan layanan kesehatan gratis, daripada kehadiran pasukan militer tambahan. “Kebijakan ini bukan solusi bagi persoalan yang ada, tetapi justru membuka potensi masalah baru,” lanjutnya.
Seruan untuk Bersatu
PM juga mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh untuk menggalang kekuatan bersama dan menolak rencana pemerintah tersebut. “Kita harus bersatu, bukan hanya untuk mempertahankan perdamaian, tetapi juga untuk memastikan bahwa keadilan bagi rakyat Aceh tidak terabaikan,” tambah Cut Farah.
Tuntutan PM ini sejalan dengan suara-suara yang muncul di masyarakat, yang mengingatkan akan pentingnya menghormati perjanjian internasional untuk mencegah ketegangan baru. Masyarakat Aceh, yang sudah lama hidup dalam damai setelah konflik, merasa khawatir bahwa penambahan pasukan akan memicu ketidakstabilan dan menghidupkan kembali trauma masa lalu.
Dampak Potensial Penempatan Pasukan
Pemerintah pusat hingga berita ini diturunkan belum memberikan penjelasan resmi mengenai alasan di balik rencana penambahan pasukan tersebut. Namun, jika rencana ini dilaksanakan, banyak yang memperkirakan bahwa hal itu bisa mempengaruhi iklim politik di Aceh, memperburuk hubungan antara pusat dan daerah, serta merusak reputasi Indonesia di mata komunitas internasional.
“Hidup Damai, Hormati MoU Helsinki!” seru Cut Farah, menegaskan komitmen Perempuan Merdeka untuk terus berjuang demi perdamaian dan keadilan bagi Aceh.