SAPA desak audit dana MIN 9 Banda Aceh menyusul dugaan pungutan liar hingga Rp3 juta per siswa. Isu ini viral setelah seorang petani gagal menyekolahkan anaknya karena biaya masuk yang tinggi.
Banda Aceh — Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) secara resmi meminta Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh untuk melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan dana di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 9 Kota Banda Aceh. Permintaan ini menyusul laporan dari sejumlah wali murid terkait dugaan pungutan liar dalam proses penerimaan peserta didik baru.
Ketua SAPA, Fauzan Adami, menyatakan bahwa pihaknya menerima berbagai pengaduan dari masyarakat, khususnya terkait biaya masuk sekolah yang dinilai memberatkan dan tidak transparan. Salah satu laporan menyebutkan adanya pungutan hingga Rp3 juta per siswa, terdiri dari Rp1 juta untuk pembelian komputer dan Rp2 juta untuk atribut sekolah.
“Ini bukan satu atau dua aduan. Ada kecenderungan sistemik. Biaya yang dibebankan sangat tidak wajar dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat,” ujar Fauzan saat konferensi pers, Senin (26/5/2025).
BACA JUGA: Pungli di Madrasah, Anak Petani Gagal Sekolah
Menurut SAPA, MIN 9 Kota Banda Aceh telah mengembalikan sebagian dana sebesar Rp1 juta untuk pos pembelian komputer, yang dinilai sebagai bentuk pengakuan tidak langsung atas adanya kekeliruan. Namun, pungutan sebesar Rp2 juta untuk atribut sekolah masih belum dikembalikan.
“Atribut seperti apa yang menelan biaya hingga Rp2 juta? Ini mengarah pada dugaan praktik mark-up, atau bahkan pungutan liar. Kami menuntut audit forensik terhadap seluruh komponen biaya tersebut,” tegas Fauzan.
Isu ini mencuat setelah beredar kisah seorang petani di Banda Aceh yang mengaku gagal mendaftarkan anaknya ke MIN 9 karena tidak sanggup membayar biaya masuk. Kisah itu menjadi viral dan membuka gelombang pengaduan serupa dari warga lain, meskipun sebagian besar disampaikan secara diam-diam karena khawatir terjadi tekanan terhadap siswa.
SAPA menegaskan bahwa segala bentuk pungutan dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di madrasah negeri bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Fauzan merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 yang melarang pungutan dalam PPDB, serta Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 184 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa seluruh kebutuhan operasional madrasah negeri ditanggung negara melalui Dana BOS.
“Jika pungutan tetap dilakukan, itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya.
SAPA menduga praktik semacam ini tidak hanya terjadi tahun ini, tetapi telah berlangsung bertahun-tahun. Oleh karena itu, mereka mendesak dilakukannya audit menyeluruh terhadap seluruh pungutan terhadap wali murid, termasuk penggunaan Dana BOS, setidaknya untuk kurun waktu 10 tahun terakhir.
“Betapa ironis, ketika masyarakat kecil berjuang menyekolahkan anaknya demi masa depan, mereka justru dihadapkan pada tembok biaya yang mencekik. Pendidikan tidak boleh menjadi ladang bisnis. Jika ada oknum yang menjadikan sekolah sebagai sumber keuntungan pribadi, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi,” pungkas Fauzan.