Gaji yang diterimanya jumlah yang amat minim untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Namun ia tetap bekerja, tetap mengabdi.
Belajar dari mereka, hari Sabtu biasanya menjadi waktu istirahat bagi banyak orang, termasuk para pegawai negeri. Namun tidak demikian bagi Bupati Tarmizi SP., MM dan timnya. Di tengah hari libur, mereka tetap membuka kantor dari pagi hingga tengah malam—bukan karena ingin tampil sibuk, tetapi karena panggilan hati untuk mendengar langsung suara rakyat yang sering kali tak terdengar.
Baca juga: Investasi Masa Depan Aceh Dimulai dari PAUD
Tanpa mewajibkan kehadiran para PNS, beliau menerima berbagai aspirasi masyarakat secara langsung. Dari sana, muncullah pelajaran hidup yang begitu menyentuh dan menggugah nurani.
Salah satunya datang dari seorang tenaga kontrak yang memohon kenaikan gaji. Gaji yang diterimanya jumlah yang amat minim untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Namun ia tetap bekerja, tetap mengabdi.
Lain lagi kisah dari seorang tenaga bakti di puskesmas. Ia menyampaikan keluhannya dengan penuh kesantunan. Bertahun-tahun bekerja tanpa pernah digaji, tetap melayani masyarakat dengan ikhlas, bahkan harus berhadapan langsung dengan keluarga pasien yang kadang penuh tekanan.
“Ketika kita mengeluh atas kekurangan, ada yang lebih pedih lagi, hanya saja mereka memilih diam,” ungkap Bupati Tarmizi dengan mata yang menyiratkan keprihatinan.
Dari pengalaman itu, beliau mengajak semua pihak—terutama para pemangku jabatan dan yang memiliki kelebihan—untuk merenung. Sering kali kita lupa, di balik tumpukan pekerjaan dan rutinitas, ada orang-orang kecil yang menopang sistem dengan ketulusan dan pengorbanan luar biasa, meski tidak pernah mendapat sorotan.

Sebagai pemimpin, Tarmizi menegaskan, penting untuk membuka telinga dan hati. “Suara masyarakat bawah kadang tidak terdengar kecuali kita datangi,” ujar Bupati memberi motivasi. Bagi beliau, menjadi pemimpin bukan hanya soal mengatur, tapi juga memahami, merasakan, dan hadir untuk mereka yang terpinggirkan.
Kisah hari Sabtu itu bukan sekadar rutinitas kerja di hari libur. Ia menjadi cermin dari kepemimpinan yang berempati—pemimpin yang tidak menunggu laporan di meja, tapi turun langsung merasakan denyut nadi rakyatnya.
Komentar