Banyak kalangan masyarakat dibuat bingung oleh kisruh yang terjadi di Bank Aceh Syariah, khususnya terkait pergantian Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama. Padahal, posisi Plt Direktur Utama seharusnya bukanlah jabatan yang perlu dipantau secara berlebihan dengan dalih pengawasan publik.
Plt hanyalah pejabat sementara yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan definitif. Dalam praktik umum, tugas utama Plt adalah menjalankan roda kepemimpinan secara terbatas: setengahnya untuk menjamin kelangsungan pelayanan, dan setengahnya lagi untuk menyukseskan proses transisi menuju penetapan pejabat definitif.
Jabatan Plt tidak memiliki kewenangan penuh terhadap hal-hal prinsipil, seperti menetapkan kebijakan strategis, mengubah rencana strategis (renstra), menggunakan anggaran besar untuk investasi, maupun melakukan kerja sama yang berdampak pada aspek hukum dengan pihak ketiga.
Namun, permasalahan utama bukan terletak pada siapa yang menjabat Plt, melainkan pada proses pergantian yang tidak wajar. Bank Aceh yang dalam kondisi sehat dan menerapkan prinsip good corporate governance di bawah kepemimpinan Direktur Utama Muhammad Syah, tiba-tiba mengalami perombakan besar-besaran. Para direksi dicopot secara serampangan tanpa mempertimbangkan asas keseimbangan dan efektivitas manajemen oleh Pj Gubernur saat itu Bustami Hamzah.
Sebagaimana diketahui, seorang pejabat definitif memiliki hak dan kewenangan untuk merumuskan visi, misi, strategi bisnis, pengendalian risiko dan pengawasan internal, serta menyusun dan mengeksekusi rencana kerja jangka menengah dan panjang selama satu periode jabatan.
BACA JUGA : Ketua DPRA Desak Pecat Komut Bank Aceh
Namun bencana manajemen dimulai ketika Penjabat (Pj) Gubernur menggunakan pendekatan politik balas dendam untuk mencopot Direktur Utama. Kebijakan politis ini menjadi pangkal kekacauan yang sulit dimitigasi secara dini dan berpotensi berkepanjangan—seperti yang kita saksikan saat ini di Bank Aceh.
Risiko ketidakefektifan manajemen perusahaan tentu telah disadari oleh para Pemegang Saham Pengendali (PSP), Dewan Komisaris, dan Direksi saat itu. Mencopot pemimpin definitif dan menggantikannya dengan Plt adalah keputusan yang membawa risiko serius terhadap stabilitas perusahaan.
Kebijakan Pj Gubernur Bustami Hamzah yang mencopot Direktur Utama justru menimbulkan persoalan besar di bank kebanggaan masyarakat Aceh ini. Situasi diperburuk dengan masuknya tahun politik menjelang Pilkada, di mana sang Pj Gubernur diduga memiliki hasrat untuk maju sebagai calon gubernur. Maka, segala kebijakan yang dikeluarkan selama menjabat pun sarat kepentingan politik.
Bank Aceh pun menjadi komoditas politik dalam tahun politik. Pj Gubernur seakan mengabaikan potensi risiko jangka panjang terhadap bank apabila ia gagal melenggang menjadi Gubernur definitif. Masa transisi kepemimpinan di tubuh PSP Bank Aceh dapat menjadi kelam apabila kebijakan balas dendam ini dilanjutkan oleh gubernur berikutnya.
Namun, persoalan terbesar justru mengarah pada Dewan Komisaris Bank Aceh—terutama Komisaris Utama, Azwardi. Diduga kuat bahwa konflik internal ini tidak lepas dari manuver Dewan Komisaris, yang seolah-olah memelihara polemik demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Contohnya adalah penunjukan Hendra Supardi sebagai Plt Direktur Utama melalui Surat Keputusan Dewan Komisaris Nomor 001/DK-BA/II/2025 tanggal 17 Februari 2025. Aneh bin ajaib, surat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh justru keluar lebih dulu, yakni pada 14 Februari 2025 (Surat Nomor S-81/KO.15/2025), sebagaimana diberitakan oleh Modus Aceh.
Sementara itu, penunjukan Plt Dirut versi PSP melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) tanggal 17 Maret 2025 belum mendapat persetujuan OJK hingga lebih dari sebulan setelahnya. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Dewan Komisaris itu bekerja untuk siapa? Bila mereka bertanggung jawab kepada PSP atau RUPS, maka seharusnya keputusan RUPS-LB diproses dan dijalankan segera.
Fenomena ini memunculkan dugaan bahwa Azwardi tengah membangun tembok pembangkangan terhadap Gubernur Aceh selaku PSP Bank Aceh. Sikap ini bukan tanpa jejak. Saat menjabat sebagai Pj Sekretaris Daerah Aceh, Azwardi pernah menunjukkan sikap tak bermoral dalam menanggapi kasus korupsi Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Kala itu, meskipun BRA sedang diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi Aceh, Azwardi tetap ingin melanjutkan program yang berpotensi melanggar hukum.
Dengan rekam jejak semacam itu, tak heran bila pengajuan persetujuan OJK untuk Plt Dirut yang baru seolah dipermainkan oleh Dewan Komisaris. Toh, perilaku komisaris utama ini adalah produk dari rezim tak bermoral yang pernah mengangkatnya ke posisi strategis.
Sungguh malang nasib rakyat Aceh, memiliki pejabat yang justru menjadi pencipta konflik dalam pemerintahan. Mereka tak segan menjadi alat kekuasaan rezim yang tak bermoral, dan kini mewariskan kegaduhan yang menghancurkan tatanan kelembagaan.
Komentar