Pemuda, Mari Kita Jaga Aceh di Era Digital

Di tengah arus globalisasi dan gempuran era digital yang semakin masif, Aceh tak bisa lagi berdiri di pinggir jalan sejarah. Anak-anak muda Aceh hari ini sedang berada di persimpangan: menjadi generasi yang hanyut dalam arus digital tanpa arah, atau menjadi pemuda yang menjaga, merawat, dan memperjuangkan martabat daerahnya di dunia digital.

Aceh bukan sekadar tanah adat, bukan sekadar wilayah syariat. Aceh adalah warisan peradaban. Negeri ini pernah menjadi mercusuar ilmu, benteng perlawanan, dan pusat diplomasi dunia. Tapi hari ini, warisan itu pelan-pelan terkikis di dunia maya. Identitas Aceh kerap dipersempit hanya pada kontroversi hukum, isu poligami, atau konflik masa lalu. Sementara pemudanya, sibuk bertengkar di kolom komentar, saling menjatuhkan di platform sosial, atau sekadar jadi penonton tren-tren viral yang kadang tak beradab.

Era Digital: Pisau Bermata Dua

Teknologi adalah anugerah sekaligus ancaman. Di tangan yang bijak, media sosial bisa menjadi alat dakwah, promosi budaya, atau membangun jaringan ekonomi kreatif. Tapi di tangan yang abai, ia bisa menjadi racun yang merusak akhlak, memecah belah masyarakat, dan menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai luhur Aceh.

Kita menyaksikan, betapa banyak akun-akun media sosial lokal yang lebih suka menyebar hoaks, memprovokasi isu agama, politik, dan adat demi konten viral. Ada pula anak muda yang bangga mempertontonkan aib, bahkan melecehkan nilai syariat demi ‘like’ dan ‘follower’. Inikah wajah Aceh yang kita ingin perkenalkan ke dunia?

Tugas Pemuda: Jaga Wajah Aceh

Pemuda Aceh harus menyadari, bahwa dunia digital adalah etalase baru. Di sana, harga diri dan citra daerah dipertaruhkan. Kita tak bisa membiarkan Aceh hanya dikenang karena konflik masa lalu atau stereotip yang menyesatkan. Pemuda hari ini harus tampil sebagai juru bicara identitas Aceh yang cerdas, santun, dan progresif.

BACA JUGA  Kembalikan Pulau Milik Aceh Secara Beretika, Atau Benih Konflik Tumbuh Kembali

Kita bisa mulai dari hal sederhana:

Mengisi media sosial dengan konten yang mencerahkan, mengedukasi, dan mempromosikan budaya Aceh.

Meluruskan hoaks dan ujaran kebencian yang merusak kerukunan.

Mengkritik dengan santun, menyuarakan kebenaran tanpa harus membenci.

Mengangkat kisah-kisah inspiratif anak muda Aceh yang sukses di berbagai bidang.

Aceh punya banyak cerita yang layak dipamerkan ke dunia: dari tradisi meugang, syair hikayat, sejarah Lamuri, hingga potensi wisata halal. Tugas kita adalah mengemasnya dalam bahasa digital yang menarik, modern, dan tetap berpijak pada nilai-nilai syariat.

Menjadi Pemuda Aceh di Era Digital Bukan Berarti Anti Globalisasi

Bukan berarti kita harus alergi terhadap tren luar. Tapi, kita harus punya filter nilai dan identitas. Jangan semua tren diikuti. Jangan semua budaya asing ditelan mentah-mentah. Pemuda Aceh harus jadi subjek, bukan korban globalisasi. Jadikan media sosial sebagai alat perjuangan, bukan sekadar tempat pamer gaya hidup kosong.

Sejarah Aceh mencatat, sejak era Sultan Iskandar Muda hingga Cut Nyak Dhien, pemuda selalu jadi pelopor perlawanan, penjaga adat, dan penggerak perubahan. Kini saatnya, perlawanan itu pindah ke ruang digital. Melawan kebodohan digital, melawan konten sampah, dan menjaga harga diri Aceh di mata dunia.

Harapan untuk Pemerintah dan Ulama

Pemerintah Aceh tak bisa tinggal diam. Regulasi digital berbasis syariat harus segera dibangun. Literasi digital berbasis adat dan agama harus massif dilakukan, mulai dari dayah hingga kampus. Ulama, tokoh adat, dan akademisi Aceh harus aktif membimbing generasi muda agar tidak tersesat di jalan virtual.

Perlu wadah-wadah komunitas digital pemuda Aceh, yang tidak sekadar berisi hiburan, tapi juga ruang diskusi cerdas tentang sejarah, budaya, syariat, ekonomi kreatif, dan wacana masa depan. Aceh harus memiliki identitas digital yang kuat, agar tak terus menjadi objek framing media nasional.

BACA JUGA  Fadhlullah Dengarkan Suara Mahasiswa

Oleh Karena itu Aceh boleh saja pernah berdarah dalam sejarahnya, tapi jangan sampai berdarah dua kali karena kebodohan digital. Pemuda Aceh harus berdiri di garis depan menjaga martabat, syariat, dan masa depan Aceh di era digital.

Karena bila bukan kita, siapa lagi?

“Pemuda Aceh, jangan hanya jadi penonton di panggung digital. Jadilah aktor utama yang membangun citra Aceh yang bermartabat, cerdas, dan beradab.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *