Aceh Pascakonflik, Tantangan Pemulihan yang Belum Tuntas

Kondisi Pascakonflik Aceh Masih Menyisakan Tantangan Besar.

 

 

Banda Aceh – Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista, menyoroti dampak berkepanjangan yang masih dirasakan masyarakat Aceh pascakonflik dan bencana besar.

Menurutnya, dua faktor utama yang membentuk kondisi Aceh saat ini adalah konflik berkepanjangan serta bencana alam yang telah mengguncang berbagai aspek kehidupan.

Hal tersebut disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penguatan Perdamaian dan Reintegrasi Pascakonflik Aceh”, yang diselenggarakan oleh Koalisi NGO HAM Aceh di Morden Café, Rabu (26/2/2025). Diskusi ini dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai universitas.

Dampak Konflik yang Belum Tuntas

Khairil menegaskan bahwa meskipun perdamaian telah berlangsung selama hampir dua dekade, trauma akibat konflik masih membayangi kehidupan masyarakat Aceh.

“Konflik belum sepenuhnya pulih. Peristiwa masa lalu masih membentuk cara masyarakat menjalani kehidupan saat ini,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa generasi yang tumbuh di era konflik cenderung memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan sosial dan perdamaian. Hal ini berpengaruh pada berbagai sektor, termasuk pendidikan dan kesehatan.

Di sektor pendidikan, Khairil mengungkapkan bahwa meskipun sekolah tidak lagi menjadi target serangan seperti di masa lalu, akses pendidikan yang memadai masih menjadi tantangan bagi sebagian anak di Aceh. Sementara itu, di bidang kesehatan, ia mengkritik anggapan bahwa pembangunan rumah sakit saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Perdamaian bukan sekadar membangun gedung, tetapi juga membangun pengetahuan, budaya berpikir kritis, dan pola pendidikan yang mencerahkan,” tegasnya.

Menurutnya, trauma akibat konflik juga memengaruhi dunia kerja. Banyak penyintas yang membawa pengalaman masa lalu sehingga sulit beradaptasi dengan situasi saat ini. Ia menyoroti peran Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang seharusnya tidak hanya memberikan kompensasi finansial, tetapi juga pendekatan pemulihan yang lebih manusiawi.

BACA JUGA  Azhari Cage Bawa Pulang Jenazah Warga Aceh dari Malaysia

Ketahanan Masyarakat dan Tantangan Pemulihan

Aktivis perempuan dari Flower Aceh, Putri Handika, yang turut menjadi pemateri dalam diskusi tersebut, menyoroti pentingnya proses pemulihan bagi masyarakat Aceh.

“Orang Aceh telah melewati berbagai bentuk kekerasan, tetapi mereka tetap kuat. Namun, dalam proses reintegrasi pascakonflik, pemulihan tidak hanya harus berfokus pada korban, tetapi juga pada para pekerja kemanusiaan yang terlibat,” paparnya.

Ia menekankan bahwa pekerja kemanusiaan juga berisiko mengalami trauma sekunder, yang dapat berdampak pada efektivitas mereka dalam membantu korban.

“Jika mereka tidak mendapatkan dukungan psikososial yang memadai, ada risiko mereka mengalami cedera moral yang berulang dan bahkan berpotensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan,” lanjutnya.

Putri menambahkan bahwa pemulihan individu sangat penting dalam membangun ketahanan masyarakat. Oleh karena itu, para korban didorong untuk menggali potensi diri agar tidak selalu bergantung pada bantuan eksternal.

Pentingnya Rekonsiliasi dan Pembangunan Kepercayaan

Dalam kesempatan yang sama, aktivis sekaligus penyintas konflik, Jufri, menyoroti tantangan besar dalam proses pemulihan korban konflik. Ia mengakui bahwa dalam situasi konflik, dendam adalah hal yang sulit dihindari.

“Dendam itu ada, dan saya sendiri menjadi aktivis hari ini karena dorongan itu. Namun, saya sadar bahwa perjuangan harus lebih logis dan konstruktif,” ungkapnya.

Jufri bercerita bahwa komunitasnya pernah berupaya mendirikan rumah singgah bagi korban konflik sebagai wadah untuk saling menguatkan. Namun, pada awalnya, inisiatif tersebut lebih banyak menjadi tempat berbagi kesedihan tanpa metode yang terarah.

“Kami kemudian menyadari bahwa korban tidak sendirian, dan yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa saling menguatkan serta mencari solusi bersama,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa meskipun program pemulihan yang ada saat ini masih bersifat simbolis, suara para korban harus terus disuarakan.

BACA JUGA  Mualem Ajak Ayah Wa & Tarmizi Bersatu Majukan Aceh Utara

“Kepercayaan diri korban harus dibangun, karena mereka adalah bagian penting dalam proses perdamaian dan reintegrasi. Tujuannya jelas: agar konflik serupa tidak terulang di masa depan,” pungkasnya.

Diskusi ini menegaskan bahwa meskipun Aceh telah memasuki era damai, tantangan pascakonflik masih memerlukan perhatian serius. Pemulihan sosial, ekonomi, dan psikologis harus terus diperkuat agar Aceh benar-benar bisa bangkit dari masa lalunya.

Komentar