“Penanganan kasus ini harus mempertimbangkan hukum lokal dan pendekatan keadilan restoratif. UU TPKS juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban,” ujar Mutawalianur
Banda Aceh – Pengurus Daerah Tunas Indonesia Raya (TIDAR) Aceh mendesak aparat penegak hukum untuk mengedepankan keadilan korban dalam kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial AF di lingkungan Kementerian Agama Kota Langsa.
Ketua PD TIDAR Aceh, Mawardi Nur, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima laporan langsung dari korban dan masyarakat terkait kasus tersebut. Korban sebelumnya telah membuat laporan ke Polres Langsa sebagaimana tertuang dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/115/VII/2023/SPKT/POLRES LANGSA/POLDA ACEH pada 11 Juli 2023. Laporan itu memuat dugaan pelecehan seksual dan pengancaman yang diatur dalam Pasal 46 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Namun, kasus tersebut dihentikan oleh Polres Langsa melalui Surat Penghentian Penyelidikan Nomor: SP2HP/228/X/RES1.24./2024/RESKRIM dengan alasan kurangnya alat bukti sesuai KUHAP Pasal 184.
“Setelah kami pelajari, penghentian kasus ini seharusnya ditinjau ulang. Penanganan kasus kekerasan seksual harus mengedepankan pendekatan berbasis korban. Apalagi, Qanun Aceh memiliki mekanisme hukum tersendiri yang semestinya juga merujuk pada UU TPKS demi menjamin keadilan substantif bagi korban,” tegas Mawardi.
Senada dengan itu, Wakil Ketua PD TIDAR Aceh, Mutawalianur, menyoroti pentingnya penerapan Qanun Jinayat secara serius. Ia menilai pasal 46 Qanun Aceh secara tegas mengatur larangan jarimah pelecehan seksual dan pengancaman sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.
“Penanganan kasus ini harus mempertimbangkan hukum lokal dan pendekatan keadilan restoratif. UU TPKS juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban,” ujar Mutawalianur.
TIDAR Aceh turut meminta atensi dari Kapolda Aceh, Komnas Perempuan, hingga DPR Aceh agar penghentian penyelidikan ini tidak menciptakan preseden buruk dan semakin menyulitkan korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.
“Negara, khususnya aparat penegak hukum di Aceh, tidak boleh abai terhadap keadilan korban seperti yang diamanatkan dalam Qanun Jinayat dan UU TPKS,” pungkas Mutawalianur.