Megathrust-Tsunami Selat Sunda-Mentawai, Apa yang Terjadi?

Terdapat 13 segmen megathrust yang berpotensi mengancam Indonesia.

 

 

Jakarta – Megathrust-Tsunami Selat Sunda-Mentawai, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pemodelan guncangan gempa megathrust Selat Sunda dengan skenario guncangan gempa berkekuatan 8,7 SR. Pemodelan ini dilakukan dalam rangka persiapan mengantisipasi ancaman gempa megathrust.

Informasi tersebut disampaikan oleh Dwikorita Karnawati saat menjadi pembicara dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi” yang diselenggarakan oleh Teknik Geofisika ITS melalui kanal YouTube resmi mereka pada tanggal 17 Januari 2025.

Menurut hasil pemodelan tersebut, wilayah yang diprediksi akan terkena dampak guncangan guncangan gempa megathrust tersebut meliputi Banten, Jakarta, Jawa Baru, Lampung, dan Sumatera Selatan. Guncangan tersebut diperkirakan akan memiliki intensitas V-VII pada Skala Intensitas Gempa Modifikasi Mercalli (MMI), yang berpotensi menyebabkan kerusakan sedang hingga berat.

“Ini kami sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan piak terkait agar melakukan antisipasi dan kesiapan. Kita nggak tahu apakah terjadi 2025, atau 2000 sekian, Wallahu A’lam ya, tapi kita harus siap,” katanya, dikutip Selasa (28/1/2025).

Skenario model gempa megathrust Selat Sunda tersebut juga dilengkapi dengan skenario model tsunami. Tinggi tsunami yang diprediksi dapat mencapai lebih dari 3 meter.

“Bisa 10 meter lebih, belasan meter, bahkan mungkin 20 meter. Yaitu di Pantai Selat Sunda, Banten, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bengkulu. Teluk Jakarta juga kena, tapi hanya sekitar 50 cm, sekitar itu” papar Dwikorita.

“Nah ini kami juga buat model yang sama dengan asumsi gempa megathrust di berbagai wilayah. Misalnya di Kota Cilegon, itu kan kota industri ya. Dampaknya bisa ada bencana ikutan. Peta-petanya sudah kami sampaikan ke pihak berwenang, pemerintah daerah terkait,” tambahnya.

Menurut Dwikorita, untuk mengantisipasi potensi gempa megathrust, BMKG telah meningkatkan kapasitas dan kemampuan sistem peringatan dini, khususnya untuk tsunami. Hal ini dilakukan dengan melipatgandakan jumlah peralatan yang dibutuhkan, sehingga dapat mempercepat dan memperkuat sistem peringatan dini jika gempa megathrust terjadi.

“Megathrust benar-benar kami jaga, kita lipatkan jumlah sensornya. Dan kita juga sedang siapkan sistem peringatan dini gempa bumi, sedang dalam proses penyiapan, dan bekerja sama dengan Taiwan,’ sebutnya.

BACA JUGA  Meuseuraya Akbar 2025, Nafas Baru bagi Situs Sejarah Aceh

“Kami juga pasang sensor-sensor muka laut, sensor-sensor cuaca, sirene Tsunami. Khusus megathrust Selat Sunda, kami kontribusi 15 sirene dan juga edukasi masyarakat. Karena menurut Undang-Undang tidak mengamanatkan BMKG menyiapkan sirene tsunami, jadi sebenarnya bukan wewenang BMKG. Karena di situ potensi terjadi multibencana,” kata Dwikorita.

Selain di Selat Sunda, BMKG juga melakukan pemodelan gempa dahsyat di megathrust Mentawai-Siberut. Skenario pemodelan ini memperkirakan guncangan gempa dapat mencapai magnitudo 8,9.

“Jika terjadi, guncangan itu diprediksi akan berdampak ke Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Sumatra Utara, mencapai skala intensitas VII-VIII dengan deskripsi terjadi kerusakan berat,” ungkap Dwikorita.

“Dan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Skenario model tsunaminya juga sudah disampaikan. Ketinggiannya bisa lebih dari 3 meter di Pantai Kepualuan Mentawai, Sumatra Barat, dan sebagian Bengkulu dan Sumatra Utara,” jelasnya.

Alasan Kenapa BMKG Siap Siaga

Menurut Dwikorita, potensi ancaman megathrust di Indonesia sangatlah tinggi. Data kejadian gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Kenapa BMKG meningkatkan kesiapsiagaan dengan menambah peralatan untuk memperkuat sistem peringatan dini?

Dwikorita juga menekankan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi, tidak hanya untuk gempa bumi dan tsunami, tetapi juga untuk bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.

Letak geografis Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia, menjadikan negara ini rawan gempa. Terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi atau megathrust dan 402 segmen sumber gempa sesar aktif yang telah teridentifikasi. Namun, masih banyak lagi segmen sumber gempa yang belum teridentifikasi, sehingga potensi ancaman gempa tetap tinggi.

“Aktivitas kegempaan yang termonitor BMKG mengalami lompatan. Berdasarkan data aktivitas data gempa jangka panjang, ada pola kejadian gempa di Indonesia terus meningkat setiap tahun,” katanya.

“Rata-rata kejadian gempa di tahun 1990-2008 sekitar 2.254 gempa per tahun. Namun, tahun 2009-2017 meningkat jadi 5.389 kejadian gempa. Kemudian melompat mulai tahun 2018-2019, bahkan 2020 ya, melompat bahkan 2018 itu 12.062, 2019 itu masih 11.731,” ucap Dwikorita.

BACA JUGA  Gempa Besar Ancam Jepang, 298 Ribu Potensi Tewas

Tahun 2024 mencatat lonjakan signifikan pada kejadian gempa, dengan total 29.869 kali kejadian. Jumlah ini cukup mengkhawatirkan, terutama karena jumlah alat pemantauan gempa pada tahun 2024 tidak jauh berbeda dengan tahun 2023.

“Poinnya di sini memang terjadi tren peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama untuk gempa dangkal ini memang meningkat. Juga ada fenomena patahan-patahan aktif di darat semakin banyak yang jadi sumber gempa,” terangnya.

“Tren gempa merusak di Indonesia terus terjadi. Dan tahun 2024, terjadi 20 kali gempa merusak. Kalau tahun 2018-2023, 119 kali gempa merusak. Jadi tadi, ada sedikit penurunan dari tahun 2020-2023 meski masih 11.000-an, tapi gempa merusaknya semakin meningkat,” papar Dwikorita.

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31/2009 dan peraturan turunannya, BMKG memiliki tugas utama untuk memberikan layanan informasi yang akurat dan tepat waktu. Layanan ini mencakup informasi gempa bumi, peringatan dini tsunami, cuaca dan iklim, kualitas udara, serta peringatan dini terkait.

“Sehingga, kami harus terus mewaspadai zona seismic gap yang ada di Selatan Banten dan Selat Sunda, sudah ada sejak tahun 1757 dan di Wilayah Mentawai-Siberut itu sudah sejak 1797. Sudah lebih 227 tahun. Sudah seharusnya kami bersiap untuk itu,” ungkapnya.

Menurut Dwikorita, seismic gap megathrust Selat Sunda telah mencapai 267 tahun, sedangkan seismic gap di Mentawai-Siberut telah mencapai 227 tahun.

Sebagai perbandingan, megathrust Nankai di Jepang memiliki seismic gap “hanya” 78 tahun dan telah melepaskan energinya. Demikian pula dengan megathrust Tohoku-Oki yang melepaskan energi pada tahun 2011 setelah memiliki seismic gap selama 176 tahun.

Selain itu, megathrust Aceh-Andaman juga telah melepaskan energinya setelah memiliki seismic gap selama 97 tahun.

“Nah yang belum terjadi yang sedang ditunggu itu adalah di Selat Sunda dan di Mentawai-Siberut, sudah lebih dari 227 tahun. Sehingga, sudah seharusnya kami untuk bersiap untuk itu. Teknologi kita tingkatkan, kita bangun terus sistemnya,”katanya.

BACA JUGA  Ribuan Aparat Dikerahkan, BEM SI Gelar Aksi 'Indonesia Gelap'

Dwikorita juga mempresentasikan data yang menunjukkan bahwa aktivitas gempa relatif jarang terjadi di zona seismic gap Selat Sunda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa zona tersebut telah mencapai titik jenuh dan siap melepaskan energi besar dalam bentuk gempa megathrust.

“Kenapa kita sebut seismic gap di situ karena memang ada kekosongan. Ada gap. Dan di situ kita khawatir akan terlepas sewaktu-waktu. Karena masanya sudah terlewati,” warning Dwikorita.

Daftar 13 Segmen Megathrust Ancam Wilayah RI

Berikut kalimat yang lebih rapi dan sempurna:

Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017, terdapat 13 segmen megathrust yang berpotensi mengancam Indonesia. Berikut adalah daftar segmen tersebut:

  1. Segmen megathrust Mentawai-Pagai memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo sebesar 8,9 skala Richter.
  2. Segmen megathrust Enggano memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo sebesar 8,4 skala Richter.
  3. Segmen megathrust Selat Sunda memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo sebesar 8,7 skala Richter.
  4. Segmen megathrust Jawa Barat-Jawa Tengah memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,7 skala Richter.
  5. Segmen megathrust Jawa Timur memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,7 skala Richter.
  6. Segmen megathrust Sumba memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,5 skala Richter.
  7. Segmen megathrust Aceh-Andaman memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo yang sangat besar, yaitu 9,2 skala Richter.
  8. Segmen megathrust Nias-Simelue memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,7 skala Richter.
  9. Segmen megathrust Batu memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 7,8 skala Richter.
  10. Segmen megathrust Mentawai-Siberut memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,9 skala Richter.
  11. Segmen megathrust Sulawesi Utara memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,5 skala Richter.
  12. Segmen megathrust Filipina memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,2 skala Richter.
  13. Segmen megathrust Papua memiliki potensi menghasilkan gempa bumi dengan magnitudo 8,7 skala Richter.

 

Foto: Tangkapan layar Peta Bahaya Tsunami dari Paparan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi. (Tangkapan Layar Youtube Teknik Geofisika ITS via CNBC Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *