Fenomena “Brain Rot” Jadi Sorotan di Kalangan Generasi Z: Dampak Konsumsi Konten Digital Berlebihan.
Jakarta – Istilah Brain Rot atau pembusukan otak kini semakin menjadi pembicaraan hangat di kalangan Generasi Z.Secara informal, istilah ini merujuk pada penurunan kapasitas mental yang diduga akibat konsumsi berlebihan terhadap konten digital, terutama media sosial.
Meskipun bukan merupakan kondisi medis yang diakui, Brain Rot digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan penurunan kognitif yang terjadi akibat gaya hidup modern yang sangat bergantung pada teknologi.
Melansir CNBCIndonesia.com, Seiring kemajuan teknologi, platform-platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memanfaatkan algoritma canggih untuk terus menarik perhatian pengguna, memperburuk ketergantungan digital.
Masoud Kianpour, Senior Research Fellow dari Toronto Metropolitan University, menjelaskan bahwa adiksi internet atau yang sering disebut dengan istilah candu digital—yang mencakup berbagai aktivitas seperti belanja online, bermain game, judi daring, hingga konsumsi pornografi—telah menjadi masalah besar, terutama setelah penerapan kebijakan social distancing selama pandemi COVID-19.
Media sosial yang muncul pada awal abad ini awalnya disambut antusias karena dianggap dapat memberdayakan individu, memfasilitasi proses bercerita, dan menghubungkan komunitas.
Namun, kini kita melihat tantangan serius terkait hubungan kita dengan fakta dan rasa percaya, dua pilar utama dalam demokrasi yang sehat.
“Kelahiran media sosial di awal abad ini disambut antusias karena memiliki potensi untuk memberdayakan individu, memfasilitasi proses bercerita, dan menghubungkan komunitas,” Kata Masoud, sebagaimana dikutip dari The Conversation, Sabtu (4/4/2025).
Generasi Z: Kelompok Pengakses Internet Terbesar
Masoud juga menyoroti dampak serius dari media sosial dalam memengaruhi persepsi publik, seperti penyebaran misinformasi dan pembentukan ruang gema (echo chambers) yang memperburuk polarisasi.
“Penyebaran misinformasi dan pembentukan ruang gema (echo chambers) kian menguatkan posisi komunitas yang berlawanan ketika berinteraksi di media sosial. Hasilnya, media sosial menjadi media yang subur akan kebencian dan ekstremisme,” tambahnya.
Dalam konteks ini, media sosial menjadi tempat yang subur untuk berkembangnya kebencian dan ekstremisme.
Rata-rata anak muda di Amerika Serikat dilaporkan menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di depan layar ponsel, dengan 237 notifikasi yang diterima—atau satu notifikasi setiap empat menit.
Di Indonesia, berdasarkan survei We Are Social 2024, masyarakat menghabiskan rata-rata 7 jam 38 menit per hari untuk mengakses internet, dengan 58,9% menggunakannya untuk mengisi waktu luang. Pola ini mencerminkan dominasi konten digital dalam kehidupan sehari-hari.
Pada 2023, Generasi Z tercatat sebagai kelompok yang paling banyak mengakses internet. Mereka juga cenderung terjebak dalam kebiasaan doom scrolling, yakni menelusuri konten tanpa henti yang akhirnya menjadi rutinitas yang sulit dihentikan.
Brain Rot: Istilah yang Meningkat Popularitasnya pada 2024
Kementerian Kesehatan turut mengingatkan akan potensi bahaya dari kebiasaan berlama-lama di media sosial. Dalam salah satu unggahannya, Kemenkes mempertanyakan dampak dari kebiasaan tersebut terhadap kesehatan otak, dengan bertanya, “Kelamaan scroll sosmed seberapa pengaruh buruk itu kah untuk kesehatan otak kita? Bisa sampai membusuk??,” demikian dikutip dari akun Instagram resmi Kemenkes RI.
Istilah Brain Rot mulai mendapatkan perhatian publik pada 2024 dan bahkan terpilih sebagai Oxford Word of the Year. Menurut Oxford University Press (OUP), istilah ini merujuk pada penurunan kondisi mental atau intelektual seseorang yang terjadi akibat konsumsi berlebihan terhadap konten daring, khususnya yang berkualitas rendah.
Presiden Oxford Languages, Casper Grathwohl, menjelaskan bahwa penggunaan istilah brain rot meningkat pesat hingga 230% antara 2023 dan 2024.
Hal ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak media sosial, melanjutkan tren kata sebelumnya seperti rizz. Menariknya, brain rot diadopsi oleh Generasi Z dan Gen Alpha, yang merupakan komunitas paling aktif dalam menciptakan dan mengonsumsi konten digital yang memicu fenomena ini.
“Saya juga merasa menarik bahwa istilah ‘brain rot’ justru diadopsi oleh Gen Z dan Gen Alpha, komunitas yang paling aktif dalam menciptakan dan mengonsumsi konten digital yang istilah ini rujuk,” tambah Grathwohl.