Di Balik Jubah dan Serban: Diskusi Panas Soal Predator Seksual di Aceh

“kasus kekerasan seksual tak bisa lagi disikapi dengan bungkam, apalagi jika pelakunya adalah tokoh berpengaruh di institusi keagamaan.”

 

 

Banda Aceh – Serial Malaysia Bidaah tengah ramai diperbincangkan warganet beberapa hari terakhir. Film yang disebut-sebut terinspirasi dari kisah nyata ini memantik beragam reaksi, terutama karena mengangkat tema sensitif terkait penyimpangan yang mengatasnamakan agama.

Di tengah polemik itu, sejumlah tokoh dan aktivis di Aceh menggelar diskusi publik bertema “Film Bidaah & Serbuan Predator Seksual di Aceh”, Selasa (15/4/2025). Acara ini berlangsung di kantor Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB-RTA), dihadiri oleh aktivis, mahasiswa, dan tokoh agama.

Tgk. Miswar Ibrahim Njong, salah satu inisiator diskusi, menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pesantren, kampus, dan institusi pendidikan keagamaan lainnya.

“Narasi tentang kekerasan seksual di Aceh harus dipindahkan—dalam arti memihak kepada korban. Jika para pimpinan institusi diam, itu justru menguntungkan pelaku,” ujar Miswar.

Ia menekankan bahwa kasus kekerasan seksual tak bisa lagi disikapi dengan bungkam, apalagi jika pelakunya adalah tokoh berpengaruh di institusi keagamaan. “Kita harus dorong agar semua pihak terbuka dan berani berbicara agar penegakan hukum berjalan maksimal,” lanjutnya.

Menurut Miswar, diskusi ini bertujuan untuk menyuarakan keberpihakan terhadap santri dan korban di lingkungan pesantren.

“PB-RTA akan mengambil langkah-langkah advokatif untuk melindungi hak-hak santri sebagai korban. Kami ingin menunjukkan bahwa santri tidak boleh diam atas fenomena kekerasan seksual,” jelasnya.

Ia juga melihat kehadiran film Bidaah sebagai pemicu diskusi yang sehat. Meskipun tidak ingin mengomentari isi atau teknis film secara langsung, Miswar menyebut film itu sebagai bentuk auto-kritik terhadap oknum yang menjual simbol keagamaan untuk kepentingan pribadi.

BACA JUGA  Gubernur Aceh Lantik 74 Pejabat, Ini Pesan Tegas Mualem

“Kami mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih tokoh agama. Jangan permisif. Lihat latar belakang, pendidikan, dan rekam jejaknya,” tambahnya.

Miswar juga menyerukan perlunya membangun jaringan pengaman sosial untuk mencegah predator seksual mencari mangsa. Menurutnya, peran aparatur gampong hingga lembaga keagamaan sangat penting dalam menekan angka kekerasan seksual di Aceh.

“Kita harus mengakui bahwa fenomena ini tumbuh subur. Dan semua pihak harus menjadikan isu ini sebagai prioritas,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan dorongan kepada pemerintah daerah agar meninjau kembali regulasi terkait kekerasan seksual, termasuk Qanun Jinayat.

“Kami mendorong agar regulasi itu direvisi dengan cara pandang yang lebih memihak kepada korban dan benar-benar melindungi hak-hak mereka,” pungkas Miswar.

Diskusi ini diharapkan menjadi pintu pembuka bagi masyarakat Aceh untuk berani bersuara dan mengawal proses advokasi korban kekerasan seksual yang selama ini sering terpinggirkan oleh kultur dan budaya diam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *