“Pusat memang punya hak mengatur negara, tapi Aceh juga punya kekhususan sesuai UUPA. Jika pembangunan ini jalan, siapa yang disalahkan? Pusat atau pemerintah Aceh? Ini tak mungkin dilakukan sepihak,” kata Nekjir kepada wartawan, Senin (5/5/2025).
Aceh Utara – Penambahan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) oleh Kementerian Pertahanan RI di Aceh menuai sorotan. Wakil Ketua DPRK Aceh Utara dari PAS Aceh, H. Jirwani SE alias Nekjir, menilai kebijakan tersebut mencederai kekhususan Aceh dan berpotensi menimbulkan kegaduhan politik.
“Pusat memang punya hak mengatur negara, tapi Aceh juga punya kekhususan sesuai UUPA. Jika pembangunan ini jalan, siapa yang disalahkan? Pusat atau pemerintah Aceh? Ini tak mungkin dilakukan sepihak,” kata Nekjir kepada wartawan, Sabtu (5/5/2025).
BACA JUGA : Perempuan Merdeka: Tambahan Pasukan TNI Langgar MoU Helsinki
Ia menyebut, kendati proyek ini merupakan kewenangan pusat, tetap dibutuhkan koordinasi yang erat dengan pemerintah daerah. “Apalagi ini sudah masuk tahap tender, sudah ada pemenangnya. Artinya prosesnya rapi dan terstruktur. Tapi tetap saja perlu transparansi dan akuntabilitas,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Rencana pembangunan empat YTP itu akan dilakukan di bawah komando Kodam Iskandar Muda, dengan lokasi tersebar di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Adapun perusahaan pemenang tender di masing-masing lokasi adalah:
Pidie: PT Performa Trans Utama
Nagan Raya: PT Kartika Bhaita
Aceh Tengah: PT Rezeki Selaras Mandiri
Aceh Singkil: PT Teguh Karya Sejati
Wali Nanggroe: Langkah Ini Langgar MoU Helsinki
Penolakan juga datang dari Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar. Dalam pernyataan tertulisnya, Malik menilai penambahan batalyon TNI di Aceh bertentangan dengan semangat Perjanjian Damai Helsinki 2005 antara RI dan GAM.
“Selama perdamaian berlaku, masyarakat Aceh semakin merasa aman dan percaya bahwa pemerintah berkomitmen pada MoU Helsinki. Eks kombatan GAM pun menjaga keamanan bersama sejak 2005,” ujarnya, Sabtu (3/5/2025).
Malik juga menegaskan bahwa kondisi geopolitik kawasan saat ini tidak memerlukan penambahan kekuatan militer di Aceh. “Aceh dulu mampu melawan Portugis lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun, Jepang 3,5 tahun. Yang kita butuhkan sekarang adalah kepercayaan dan komitmen pada kesepakatan damai,” tegasnya.
Elemen Sipil Desak Pembatalan Proyek
Penolakan serupa disuarakan Koordinator Elemen Sipil Aceh, Verri Al-Buchari. Ia menilai pembangunan YTP di Aceh merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat otonomi khusus dan perdamaian yang telah berlangsung selama dua dekade.
“Pembangunan YTP ini harus dibatalkan. Pemerintah pusat seharusnya lebih peka terhadap aspirasi masyarakat Aceh dan tidak mengambil keputusan sepihak,” tegas Verri.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan di Aceh untuk bersatu dalam menolak kebijakan tersebut. “Menjaga kepercayaan adalah fondasi utama dari perdamaian. Ini bukan hanya soal infrastruktur militer, tapi soal keadilan dan penghormatan terhadap kesepakatan politik,” pungkasnya.