Kerusakan masif dan 900 ribu pengungsi dinilai butuh intervensi pusat segera.
Banda Aceh — Pertemuan penting antara Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, dengan rombongan Komisi VIII DPR RI serta perwakilan Kementerian Sosial, BNPB, dan Kepala BPJPH Haekal Hasan berlangsung di Ruang Potda Kantor Gubernur Aceh, Rabu (10/11/2025). Suasana rapat diwarnai keprihatinan mendalam ketika berbagai pihak mendengarkan paparan mengenai skala dampak banjir besar yang melanda hampir seluruh wilayah Aceh.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ansory Siregar, menegaskan bahwa banjir kali ini memiliki cakupan kerusakan yang jauh melampaui batas normal bencana di daerah. Ia menyatakan bahwa pemerintah pusat perlu mengambil langkah luar biasa untuk menolong warga yang terdampak.
“Bencana ini harus menjadi bencana nasional,” ujar Ansory. Ia menekankan bahwa percepatan status tanggap darurat dibutuhkan agar Aceh dapat segera memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut dia, penyediaan hunian sementara harus menjadi prioritas agar warga tidak terlalu lama hidup di tenda pengungsian.
Anggota DPR RI, Husni Thamrin, juga menyampaikan kritik atas lambannya respons Kementerian Sosial. Ia menyebut Kemensos baru membangun 21 dapur umum yang hanya mampu melayani sekitar 100 ribu pengungsi.
“Sementara pengungsinya di Aceh lebih dari 900 ribu orang. Ini sangat tidak sebanding,” ujarnya. Ia meminta BNPB segera mengerahkan logistik dan alat berat dari provinsi lain yang tidak terdampak, dengan alasan bahwa waktu menjadi faktor penentu penyelamatan warga.
Beberapa anggota DPR lainnya menyuarakan kritik serupa. Mereka menilai kerusakan yang masif, jumlah korban yang sangat besar, serta wilayah terdampak yang luas seharusnya membuat pemerintah pusat lebih cepat menetapkan status bencana nasional. Mereka juga menyoroti lambatnya penyampaian data faktual kepada Presiden.
“Banyak data asal bapak senang yang sampai ke Presiden. Akibatnya bencana di Aceh dan daerah lain terlihat seolah biasa saja,” kata salah satu anggota DPR.
Dalam laporannya, Sekda Aceh M. Nasir menjelaskan bahwa bencana ini melanda 18 kabupaten/kota, dengan 15 daerah sudah menetapkan status siaga darurat. Aceh Tamiang menjadi wilayah paling parah, di mana seluruh permukiman terendam lumpur dan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal.
“Kondisinya sangat luas dan masif. Di wilayah tengah mayoritas longsor, banyak akses darat terputus. Stok Bulog juga semakin menipis,” ujar Nasir.
Ia memaparkan bahwa lebih dari 165 ribu rumah warga rusak, mulai dari kategori berat hingga ringan. Dengan skala kerusakan seperti itu, ia menilai Aceh tidak mungkin bangkit hanya mengandalkan kemampuan daerah.
“Warga Aceh Tamiang kehilangan semua rumahnya. Mereka tidak akan mampu bangkit tanpa bantuan pusat. Kami mohon Komisi VIII mendorong perhatian serius pemerintah,” ucapnya.
Nasir juga menyinggung ketidaksesuaian data yang disampaikan para menteri kepada Presiden, yang dinilainya dapat mengakibatkan kebijakan tidak tepat sasaran. Ia berharap Presiden bersedia mendengar langsung laporan dari bupati dan wali kota terdampak.
Ia menambahkan bahwa hingga memasuki hari ke-14 masa tanggap darurat, sejumlah kebutuhan dasar masih belum terpenuhi. “Lampu saja belum selesai. Jembatan-jembatan putus juga belum diperbaiki. Ini sangat mempengaruhi evakuasi dan distribusi bantuan,” tegas Nasir.
Rapat ditutup dengan desakan kuat dari Komisi VIII DPR agar BNPB segera mengusulkan penetapan Bencana Nasional Sumatra, dengan Aceh sebagai episentrum kerusakan terparah. Mereka menilai percepatan kebijakan menjadi kunci untuk mencegah krisis kemanusiaan yang lebih besar.











