RKUHAP Dikritik, Penyidik-Jaksa Tak Boleh Disatukan

Seminar Nasional UIN Ar-Raniry Soroti Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana RKUHAP dan Ancaman Tumpang Tindih Kewenangan Penegak Hukum.

 

 

Banda Aceh — Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar Seminar Nasional bertema “Pembaruan Hukum Acara Pidana dalam Kerangka Integrated Criminal Justice System (ICJS) dan Implikasinya terhadap Penegak Hukum Syariah”, Rabu (25/6/2025). Forum ilmiah ini membedah berbagai persoalan penting dalam draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas di Komisi III DPR RI.

Seminar menghadirkan sejumlah pakar hukum nasional, antara lain Prof. Topo Santoso, Prof. Pujiono, Prof. Syahrizal Abbas, Prof. Faisal, dan Prof. Muhammad Din, dengan keynote speaker Plt. Wakil Jaksa Agung RI, Prof. Asep Mulyana.

Salah satu isu utama yang mencuat adalah usulan integrasi fungsi penyidik dan penuntut dalam sistem peradilan pidana. Usulan ini dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan, serta membuka peluang terbentuknya lembaga superbody yang dikhawatirkan dapat mengganggu prinsip keadilan dalam proses hukum.

Ketua Pusat Studi Pemuda Aceh (PUSDA), Heri Safrijal, secara kritis menyoroti rencana tersebut. Ia menilai penyatuan fungsi penyidikan dan penuntutan berisiko mengaburkan batas fungsi kelembagaan dan mencederai asas due process of law.

“Dalam KUHAP, penyidik adalah polisi, dan jaksa adalah penuntut umum. Jika keduanya disatukan, akan timbul kekacauan prosedural dan potensi penyalahgunaan kewenangan,” ujar Heri.

Ia juga memperingatkan kemungkinan terjadinya overlapping dalam praktik penyidikan, seperti dalam penggeledahan, penyitaan, hingga pemeriksaan saksi, yang dapat menimbulkan kebingungan hukum dan ketidakpastian bagi masyarakat pencari keadilan.

Pandangan senada disampaikan Ketua Forum Pemuda Aceh (FPA), Syarbaini, yang dengan tegas menolak wacana integrasi fungsi tersebut. Menurutnya, pemisahan peran antara penyidik dan penuntut merupakan salah satu semangat reformasi hukum pasca-Orde Baru yang tidak boleh dikompromikan.

BACA JUGA  Kades Kohod & Anak Buah Didenda Rp48 M: Pagar Laut Ilegal!

“Revisi KUHAP seharusnya memperkuat profesionalisme aparat penegak hukum, bukan menciptakan dominasi kelembagaan tertentu. Kita butuh sistem yang akuntabel dan transparan,” kata Syarbaini.

Ia juga mengingatkan bahwa publik saat ini semakin kritis terhadap independensi lembaga penegak hukum, sehingga setiap perubahan regulasi harus berpihak pada prinsip keadilan substantif dan tidak menimbulkan dominasi struktural.

Menanggapi berbagai kritik tersebut, Prof. Pujiono menyampaikan bahwa draf RKUHAP yang beredar sejauh ini masih mempertahankan prinsip pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan sebagaimana tertuang dalam sistem hukum yang berlaku.

“Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Kami mencermati draf itu dengan seksama, dan secara prinsip tidak ada perubahan mendasar terkait pemisahan fungsi antara polisi dan jaksa,” jelasnya.

Seminar nasional ini menjadi bukti bahwa wacana revisi KUHAP menimbulkan respons serius di kalangan akademisi dan masyarakat sipil, termasuk dari Aceh. Forum ini juga menjadi ruang dialektika konstruktif dalam menjaga arah pembaruan hukum agar tetap dalam koridor keadilan dan demokrasi.

Para peserta seminar berharap agar pemerintah dan DPR RI tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang menyangkut struktur fundamental sistem peradilan pidana di Indonesia.

“Reformasi hukum harus tetap berpijak pada prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia,” tutup Heri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *