Tak Lazim Dalam Badan Usaha “Saboh Jaloe Dua Pawang”

“Saat ada anggapan terjadi dualisme kepemimpinan pada Bank Aceh, ditambah dengan informasi bahwa pelaksana tugas yang telah mendapat persetujuan dan tercatat pada lembaga otoritas jasa keamanan (OJK) Aceh tidak bekerja sebagai pejabat sesuai penunjukan yaitu pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama”

 

 

Bank Aceh Syariah adalah badan usaha milik Aceh yang berbadan hukum, bukanlah organisasi masyarakat yang dibentuk dengan semangat demokratis dan transparan kepada publik, sehingga ada anggapan punya ruang bagi bagi Bank Aceh untuk membiarkan dualisme kepemimpinan.

Badan usaha adalah milik orang perorangan atau bereberapa orang atau badan hukum lainnya, yang memisahkan kekayaan personal dengan kekayaan badan usaha yang dikelola secara transparan, akuntabel, responsif, mandiri dan kewajaran oleh manajemen direksi dan komisi pengawas badan usaha yaitu Komisaris.

BACA JUGA : Kisruh Bank Aceh: Produk Komisaris Utama Warisan Rezim Tak Bermoral

Dalam pelaksanaan manajerial, badan usaha di pimpin oleh seorang Direktur dan Wakil Direktur atau seorang Direktuk Utama (Dirut) dengan beberapa Direktur ataupun sebutan lainnya. Penetapan Direktur atau Direktur Utama tidak dibuka lelang terbuka seperti lazimnya yang terjadi pada organisasi-organisasi termasuk organisasi masyarakat dan organisasi politik.

Organ kepemimpinan dan manajerial pada badan usaha dintujuk oleh pemiliknya (Owner) atau pemilik saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Luar BIasa (RUPS-LB) atau dalam bentuk lain Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP) ada aturan yang mengatur tentang siapa yang akan menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP).

Dalam bank Aceh Syariah (BAS), berdasarkan aturannya apakah yang tertuang dalam Qanun pembentukan Bank atau dalam Anggaran Dasar adan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) badan usaha telah menetapkan bahwa pemegang saham pengendali (PSP) nya adalah Gubernur Aceh. Jika penunjukannya dilakukan dalam RUPS-LB maka semua kepala daerah kabupaten dan kota menjadi pemilik saham, sehingga perlu mempertihatikan quorum kehadiran pemilik suara sah (saham) dan persetujuan dalam penunjukan dan penetapan direksi dan dewan komisaris serta organ manajerial secara umumnya.

BACA JUGA  Resmi! Hendra Supardi Jadi Plt. Dirut Bank Aceh Syariah

Lalu saat posisi tampuk pemimpin kosong, berdasarkan aturannya ditunjuk pelaksana tugas (Plt). Penunjukan ini karena dianggap hal mendesak bahkan Dewan Komisaris diizinkan untuk menunjuk Pelaksana tugas atas persetujuan pemegang saham pengendali (PSP). Jika kemudian PSP membuat RUPS-LB untuk penunjukan dewan direksi dan dewan komisaris badan usaha baru, maka penetapan yang dilakukan PSP dalam RSUP-LB ini membatalkan legitimasi hukum dari kebijakan Dewan Komisaris sebelumnya. Karena pemilik kuasa penuh penetapan dewan direksi dan dewan komisaris berada di tangan pemilik saham khususnya PSP.

Saat ada anggapan terjadi dualisme kepemimpinan pada Bank Aceh, ditambah dengan informasi bahwa pelaksana tugas yang telah mendapat persetujuan dan tercatat pada lembaga otoritas jasa keamanan (OJK) Aceh tidak bekerja sebagai pejabat sesuai penunjukan yaitu pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama dan masih menganggap dan bekerja senagai salah satu Direktur adalah suatu pelanggaran etika dan administratif, sehingga patut dipertanyakan integritasnya tehadap badan usaha dimana dia mengail rezeki dan loyalitasnya pada dewan komisasaris dan pemilik saham pengendali (PSP).

Kondisi ini tidak mungkin berlaku jika dewan komisaris selaku komisi pengawasan dan pembinaan dalam badan usaha tidak membiarkan fonomena ini terjadi. Jika kondisi ini terjadi maka menjadi cerminan bahwa dewan komisaris tidak punya kompetensi atau komitmen untuk membantu menjalankan good coorporate governance atau bahkan memang ingin menciptakan kondisi mengahancurkan badan usaha dari dalam.

Dari permasalahan yang terjadi berlarut-larut di internal bank Aceh maka dapat disimpulkan bahwa bukan hanya dewan komisaris yang disinyalir membangkan keputusan PSP, tetapi pelaksana tugas Dirut BAS yang telah legal berdasarkan persetujuan OJK Aceh Hendra Supardi juga tidak paham substansi hukum atas penunjukan, karena masih tidak bertanggung jawab melaksanakan tupoksi jabatan yang telah diterima.

BACA JUGA  Layanan Operasional Bank Aceh Selama Libur Lebaran 1446 H

Sehingga sepatutnya baik dewan komisaris dan Plt Dirut Hendra Supardi untuk segera di ganti, yaitu dengan menunjuk dewan komisaris baru agar segera menproses penunjukan Fadhil Ilyas sebagai Plt Dirut di OJK Aceh yang telah ditunjuk kembali oleh PSP dalam RUPS-LB.

Tidak ada istilah kemelut berkepanjangan pada organisiasi apabila kemahfuman dan ketegasan dimiliki dan diterapkan oleh otoritas dalam organisasi, apalagi hal yang tidak lazim terjadi pada badan usaha yang pemegang kedaulatan berada pada pemilik saham atau kata lain pemegang saham pengendali (PSP).

Semoga kemelut bank kesayangan bangsa Aceh segera berakhir, dan lahirnya pemimpin yang berintegritas serta loyal pada pemilik bank!

Komentar