Kembali ke Jalan Militer: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh

“Aceh tidak butuh lebih banyak senjata. Aceh butuh penguatan institusi sipil, keadilan ekonomi, dan penghormatan terhadap semangat perdamaian. Menambah batalyon ke Aceh hari ini sama saja dengan mencederai luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.” – Verri Al-Buchari

 

Rencana penambahan empat batalyon Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Aceh patut dipertanyakan, baik dari sisi keamanan, politik, maupun moralitas kebangsaan. Setelah hampir dua dekade hidup dalam kerangka damai pasca-MoU Helsinki 2005, langkah ini justru terasa sebagai kemunduran besar dalam upaya membangun kepercayaan dan rekonsiliasi jangka panjang di Aceh.

Secara formal, nota kesepahaman Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati penarikan pasukan non-organik dari Aceh dan pembatasan jumlah personel militer serta kepolisian di wilayah Aceh. MoU ini bukan sekadar dokumen teknokratis, melainkan kontrak politik dan sosial yang mengakhiri konflik bersenjata yang menelan lebih dari 15 ribu korban jiwa dan jutaan luka sosial di tengah masyarakat Aceh.

Maka, ketika wacana penambahan kekuatan militer muncul tanpa ancaman nyata atau eskalasi konflik, wajar jika publik Aceh merasa dikhianati. Keamanan bukan semata hasil dari pengerahan pasukan, melainkan buah dari legitimasi, keadilan, dan rasa aman yang tumbuh dari kepercayaan terhadap negara. Dalam konteks ini, kehadiran batalyon baru justru memperlebar jarak antara rakyat dan negara.

Dari sudut keamanan nasional, Aceh bukanlah zona merah. Tidak ada konflik separatis terbuka, tidak ada pemberontakan bersenjata, dan gangguan keamanan bersifat sporadis yang sejatinya bisa ditangani dengan pendekatan sipil. Justru, dengan mendekatkan aparat bersenjata dalam jumlah besar, negara berisiko memicu kecurigaan lama dan menciptakan ketegangan baru. Harus diingat, banyak warga Aceh masih menyimpan trauma dari era Darurat Militer 2003–2005. Bekas luka ini belum sepenuhnya pulih.

BACA JUGA  Mayor Teddy Indra Wijaya Resmi Naik Pangkat Jadi Letkol

Dampak lainnya adalah masalah ruang hidup masyarakat. Kehadiran batalyon berarti pembangunan markas, barak, dan penguasaan lahan dalam skala besar. Ini bisa berpotensi menimbulkan konflik agraria dan mempersempit ruang ekonomi rakyat. Bukan tidak mungkin, tanah-tanah yang sebelumnya diakses masyarakat akan dialihkan secara sepihak demi kepentingan militer.

Secara politik, ini menjadi pesan buruk dari Jakarta. Bahwa alih-alih memperkuat otonomi dan rekonsiliasi pasca-konflik, pusat justru kembali ke pola lama: pendekatan keamanan untuk menjawab problem sosial-politik. Ini tidak hanya melukai semangat perdamaian, tetapi juga mencoreng wibawa negara yang pernah berkomitmen menanggalkan pendekatan kekerasan di Aceh.

Aceh tidak butuh tambahan batalyon. Yang dibutuhkan adalah tambahan kepercayaan. Negara harus hadir dengan program pendidikan, kesehatan, perlindungan HAM, dan pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Jika negara masih memandang Aceh sebagai “daerah rawan” yang harus diawasi dengan senjata, maka kita belum benar-benar belajar dari sejarah.

“Aceh tidak butuh lebih banyak senjata. Aceh butuh penguatan institusi sipil, keadilan ekonomi, dan penghormatan terhadap semangat perdamaian. Menambah batalyon ke Aceh hari ini sama saja dengan mencederai luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.”

 

Oleh: Verri Al-Buchari                                                                                                                    Koordinator Elemen Sipil Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *