Kecerdasan Buatan, Kendali Tetap di Manusia

Karena itu, jangan pernah mengabaikan pentingnya kecerdasan manusia dalam setiap langkah kita menghadapi kemajuan teknologi.
Oleh: Jabbar, AMIPR/Anggota Polri
Staf Public Relation Polda Aceh

 

 

PERKEMBANGAN teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan.

Dari sektor industri, bisnis, pendidikan, layanan kesehatan, hingga pemerintahan, AI terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Namun, di balik semua kemajuan tersebut ada satu hal mendasar yang tidak boleh diabaikan, yaitu peran kecerdasan manusia tetap menjadi penentu dalam penggunaan AI.

Sebagus apapun teknologi yang diciptakan, AI tetaplah alat yang bergantung pada manusia, selaku perancang, pengarah, dan pengendali. Bukan sebaliknya.

Jadi, kecerdasan manusialah yang menentukan apakah AI akan membawa manfaat yang lebih luas atau justru menimbulkan masalah baru.

Karena itu, pemahaman mendalam manusia terhadap nilai-nilai etika, sosial, dan dampak jangka panjang penggunaan AI menjadi semakin krusial.

Belakangan ini, kita juga sering mendengar narasi bahwa AI bisa sepenuhnya menggantikan manusia dalam berbagai pekerjaan.

Memang, banyak pekerjaan yang dulunya membutuhkan intervensi manusia kini dapat diotomatisasi dengan bantuan AI, seperti analisis data besar, pengelolaan logistik, bahkan layanan pelanggan.

Namun, perlu disadari bahwa AI bukanlah entitas yang berpikir dan berkehendak sendiri. AI lahir dari logika, instruksi, dan keputusan manusia. Tanpa kecerdasan manusia yang mengarahkan, AI hanyalah sekumpulan algoritma tanpa kendali moral dan sosial.

Tanpa pengawasan dan kebijaksanaan manusia, AI berpeluang bisa disalahgunakan atau bahkan menyebabkan kerugian serius.

Salah satu contohnya adalah penggunaan AI dalam proses rekrutmen tenaga kerja. Jika algoritma yang digunakan tidak dirancang secara adil, maka AI dapat memperkuat bias sosial yang sudah ada, seperti diskriminasi berbasis gender, ras, atau latar belakang sosial ekonomi.

BACA JUGA  Malaysia Ramai Diserbu Asing

Ini membuktikan bahwa kecanggihan teknologi saja tidak cukup. Kehadiran kecerdasan manusia tetap diperlukan untuk memastikan AI berjalan sesuai prinsip keadilan dan kemanusiaan.

Lebih jauh lagi, AI tidak memiliki kecerdasan emosional. Ia hanya mampu menghitung dan menganalisis data dalam jumlah besar dengan kecepatan luar biasa, tetapi tidak mampu memahami emosi atau nuansa hubungan antar-individu.

Dalam dunia kesehatan, misalnya, seorang dokter tidak hanya menganalisis data medis, tetapi juga mempertimbangkan kondisi emosional dan psikologis pasien.

Keputusan medis bukan hanya soal data, tetapi juga soal empati.

AI bisa membantu proses diagnosis, tetapi keputusan akhir tetap harus diambil oleh manusia.

Hal yang sama berlaku di dunia hukum, di mana pertimbangan nilai, keadilan, dan empati manusia tetap menjadi faktor utama dalam setiap putusan.

Selain itu, pengawasan terhadap penggunaan AI menjadi semakin penting di tengah pesatnya perkembangan teknologi.

Banyak perusahaan berlomba-lomba mengembangkan aplikasi AI untuk berbagai kepentingan, mulai dari bisnis hingga politik.

Tanpa regulasi yang jelas dan pengawasan ketat, AI dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan, seperti manipulasi opini publik melalui media sosial atau penyebaran disinformasi secara masif.

Dalam konteks ini, kecerdasan manusia berperan vital untuk memastikan penggunaan AI tetap pada jalur yang benar, sehingga tidak ada celah untuk terjadinya pelanggaran hukum.

Di tengah tantangan ini, pendidikan dan literasi teknologi juga menjadi kunci.

Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang cara kerja AI, potensi manfaatnya, serta risiko yang menyertainya.

Pendidikan tentang etika teknologi harus dimasukkan ke dalam kurikulum, agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi pengarah dan pengawas penggunaannya.

Melek teknologi tidak cukup jika hanya berhenti pada keterampilan teknis; yang lebih penting adalah membangun kesadaran moral dan tanggung jawab sosial dalam setiap penggunaan teknologi.

BACA JUGA  Microsoft Guyur Rp 27 T, RI Jadi Basis AI Asia

Meskipun AI menawarkan peluang luar biasa untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, kita tidak boleh terbuai oleh kecanggihannya.

Tanpa keterlibatan aktif dan kendali bijak dari manusia, AI berpotensi menjadi alat yang menyesatkan.

Oleh sebab itu, penting untuk selalu menempatkan kecerdasan manusia di pusat pengambilan keputusan, terutama dalam pemanfaatan teknologi canggih seperti AI.

Pada akhirnya, masa depan bukan ditentukan oleh AI itu sendiri, melainkan oleh manusia yang menggunakannya.

Masa depan AI akan sangat bergantung pada sejauh mana kita sebagai manusia mampu mengarahkan dan mengendalikan teknologi ini demi kebaikan bersama.

Karena itu, jangan pernah mengabaikan pentingnya kecerdasan manusia dalam setiap langkah kita menghadapi kemajuan teknologi.

AI boleh saja berkembang pesat, tetapi manusia dengan akal, nurani, dan kebijaksanaannyalah yang akan menentukan arah perubahan tersebut.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *