Izinkan Kami Pemuda Memimpin Aceh

Aceh adalah tanah warisan para pejuang. Negeri yang pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban nusantara, bahkan dunia. Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Aceh pernah menjadi pusat perdagangan, peradaban, dan kekuatan militer yang ditakuti bangsa asing. Kejayaan itu dibangun atas semangat keberanian, kecerdasan, dan kolaborasi lintas generasi.

Namun, sejarah agung itu kini seolah hanya menjadi cerita pengantar tidur di ruang-ruang diskusi kecil. Aceh hari ini terperangkap dalam ketidakpastian. Kekayaan alam yang melimpah tak mampu mengentaskan kemiskinan. Dana otsus yang mengalir sejak 2008 tak kunjung mewujudkan kesejahteraan merata. Infrastruktur boleh megah, tapi pendidikan dan lapangan kerja masih menjadi masalah utama.

Lebih ironis lagi, konflik elit politik yang tak pernah usai, dominasi politik uang, dan minimnya regenerasi kepemimpinan membuat rakyat kehilangan harapan. Maka, izinkan kami — anak-anak muda Aceh — mengambil bagian. Bukan sekadar ikut bicara, tapi memimpin. Bukan untuk menggeser yang tua, tapi untuk membuktikan bahwa energi muda Aceh mampu memulihkan marwah negeri ini.

Politik Aceh yang Terjebak di Masa Lalu

Pasca damai Helsinki 2005, harapan rakyat Aceh sangat besar. Perdamaian yang didapat setelah konflik panjang diyakini akan membawa perubahan signifikan. Nyatanya, perubahan itu tersendat. Beberapa elite lokal yang dulu bersuara keras di medan perjuangan, kini lebih sibuk mempertahankan kekuasaan, mempertontonkan perebutan jabatan, hingga tersandung kasus korupsi.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang seharusnya menjadi corong rakyat, justru berkali-kali terlibat dalam konflik internal yang memalukan. Begitu pula kepala-kepala daerah yang masih sibuk membangun dinasti politik. Akibatnya, pembangunan berjalan tanpa arah yang jelas, program-program rakyat kerap dijadikan alat politik, dan kekuasaan cenderung dikuasai wajah-wajah lama.

BACA JUGA  PA Diminta Menahan Diri, Berikan Kenyamanan Bagi Mualem Menjalankan Tugas Sebagai Gubernur Aceh

Di sisi lain, anak-anak muda hanya diposisikan sebagai pelengkap. Saat kampanye, mereka dicari. Ketika kekuasaan diraih, mereka ditinggalkan. Tak sedikit pemuda yang akhirnya memilih apatis, merantau, atau menyingkir dari panggung politik lokal.

Potensi Besar yang Tak Pernah Diberi Kesempatan

Padahal, Aceh memiliki bonus demografi yang sangat strategis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, sekitar 63 persen penduduk Aceh adalah usia produktif, antara 15 hingga 45 tahun. Di desa-desa, kota-kota kecil, hingga kampus, lahir banyak anak muda Aceh yang cerdas, kreatif, dan progresif.

Lihat saja bagaimana anak-anak muda Aceh mampu bersaing di ajang nasional dan internasional. Dari kompetisi sains, olahraga, bisnis digital, hingga inovasi teknologi berbasis syariah. Sayangnya, potensi ini terabaikan dalam peta kebijakan pemerintah daerah.

Masalahnya bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena ruang itu terlalu sempit. Budaya politik yang masih feodal, birokrasi yang kaku, dan ketakutan elite lama terhadap perubahan membuat anak muda kesulitan masuk ke ranah pengambilan keputusan.

Kami Tidak Anti Orang Tua, Kami Ingin Kolaborasi

Kami menyadari, membangun Aceh tidak bisa hanya dengan semangat muda. Butuh pengalaman, kebijaksanaan, dan kearifan generasi tua. Kami ingin berkolaborasi, bukan berkonfrontasi. Kami ingin belajar, tapi bukan diperalat. Kami ingin dipercaya, bukan sekadar diposisikan sebagai tim hore atau tim sukses lima tahunan.

Sejarah Aceh membuktikan, keberhasilan negeri ini lahir dari kombinasi keberanian pemuda dan kebijaksanaan orang tua. Sultan Iskandar Muda mulai memimpin di usia muda. Teungku Cik di Tiro, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, semuanya adalah tokoh-tokoh muda yang diberi ruang dan kepercayaan oleh komunitasnya.

Lantas, mengapa hari ini anak muda Aceh justru dianggap ancaman? Mengapa ide-ide segar kami dipandang remeh? Mengapa ketika kami bicara soal transparansi anggaran, pemberdayaan ekonomi rakyat, hingga digitalisasi birokrasi, kami justru diasingkan?

BACA JUGA  Kecerdasan Buatan, Kendali Tetap di Manusia

Tantangan Besar Aceh di Tangan Anak Muda

Aceh saat ini menghadapi tantangan serius. Tingkat kemiskinan masih di atas rata-rata nasional. Lapangan kerja minim. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa kendali, sementara daerah-daerah penghasil tetap miskin. Di saat yang sama, bonus demografi bisa menjadi pedang bermata dua — bila tidak dikelola, Aceh akan dihantui ledakan pengangguran dan kriminalitas.

Anak-anak muda Aceh memahami tantangan ini. Kami ingin menawarkan solusi konkret. Kami ingin membuat kebijakan berbasis riset, bukan berbasis kepentingan politik. Kami ingin mendorong lahirnya regulasi perlindungan lingkungan, penguatan pendidikan dayah modern, dan digitalisasi pelayanan publik.

Kami ingin memperkuat diplomasi Aceh dengan dunia Islam, membangun hubungan dagang halal dengan negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara, serta mengembangkan industri kreatif berbasis syariah. Kami percaya, anak muda Aceh mampu menghadirkan gagasan-gagasan segar yang progresif dan adaptif terhadap perkembangan global.

Saatnya Regenerasi Kepemimpinan

Karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak: ulama, tokoh adat, akademisi, perempuan, dan masyarakat Aceh di seluruh lapisan — mari beri ruang bagi anak muda. Saatnya kita mengakhiri dominasi elite lama yang itu-itu saja. Bukan untuk memusuhi, tapi untuk membangun kolaborasi sehat demi kemajuan bersama.

Berikan kami kesempatan memimpin daerah, menjadi anggota dewan, menjadi kepala dinas, bahkan menjadi gubernur. Bukan karena faktor usia semata, tapi karena kami memiliki visi baru, energi baru, dan komitmen untuk menjaga Aceh tetap bermartabat.

Kami ingin membuktikan bahwa politik bukan hanya soal bagi-bagi proyek dan jabatan, tapi soal keberpihakan pada rakyat miskin, kaum lemah, dan generasi yang akan datang.

Izinkan Kami Memimpin

Aceh tidak kekurangan anak muda pemberani. Yang kami butuhkan hanya kesempatan, ruang, dan kepercayaan. Izinkan kami memimpin Aceh. Sekali saja. Biarkan sejarah yang mencatat, apakah anak muda mampu membawa Aceh keluar dari keterpurukan, atau tetap tenggelam dalam politik lama yang penuh intrik.

BACA JUGA  Kembalikan Pulau Milik Aceh Secara Beretika, Atau Benih Konflik Tumbuh Kembali

Kami yakin, dengan restu orang tua, bimbingan ulama, dan dukungan masyarakat, anak muda Aceh bisa menjadi pelopor perubahan. Bukan sekadar slogan di baliho, tapi pemimpin sejati yang bekerja untuk rakyat, demi Aceh yang lebih beradab, adil, dan bermartabat.

Izinkan kami memimpin Aceh. Karena masa depan Aceh adalah hak kami juga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *